Poso, Pakistan, dan Afghanistan
Oleh : Redaksi 26 Apr 2007 – 2:39 am
Oleh Bagya Nugraha
Poso ramai lagi. Rentetan tembakan disiarkan di media massa. Korban pun berjatuhan. Keramaian peristiwa Poso disusul dengan alasan-alasan klasik dari para pejabat pemerintah kita: mereka bagian dari Jamaah Islamiyah, jaringan teror bom bali, dan sebagainya.
Kemudian, ada yang menarik dari pernyataan pejabat Polri Setempat bahwa kelompok yang dikejar oleh Densus 88 adalah alumni Afghanistan. Lagi-lagi Afghan! Seolah-olah tidak ada tudingan lain. Seharusnya para pejabat di Indonesia mengkritisi diri sendiri bahwa kemunculan kelompok radikal itu toh sebenarnya juga didukung kebijaksanaan intelijen masa Orba hingga sekarang. Terutama, pada kebijaksanaan intelijennya.
Afghanistan dan Geostrategi
Afghanistan mempunyai lokasi strategis. Ia berada di Asia Tengah. Wilayah ini sudah menjadi incaran negara adikuasa dan konco-konconya sejak era perang dingin. Detail ceritanya, kita bisa melihat tulisan dari wartawan senior KOMPAS yang saya sertakan di bawah ini.
Afghanistan diincar sebagai akses ke sumber-sumber minyak di Asia Tengah. Untuk mendukung tulisan wartawan senior KOMPAS tersebut, saya sertakan beberapa file.
Arah Kebijakan Intelejen Era Soeharto dan Afghanistan
Sejak dibubarkannya BPI (Badan Pusat Intelijen) era Soekarno, dan menggantikannya dengan BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen), arah semua kebijakan pun berubah haluan.
Era Soekarno, dengan jargon anti-neoliberalisme, kebijakan intelijen BPI pun tidak jauh-jauh ke arah blok Timur saat itu. Ketika era berganti, setelah Soeharto melakukan ‘kudeta halus’, isu anti-komunisme pun dikumandangkan oleh rezim Soeharto. Isu anti-komunisme merupakan strategis untuk mengganyang habis orang-orang pro Soekarno yang nasionalis maupun komunis. Lewat isu ini pula, CIA menganggap BAKIN sebuah aliansi strategis di kawasan Asia Timur (atau Asia Tenggara). Saat itu kebetulan juga, AS sedang menggarap rencana menggoyang Vietnam, dimana –lagi-lagi– AS sedang mengincar akses dan sumber minyak di sekitar kawasan Vietnam. Lucunya, di beberapa tahun kemudian, AS kalah perang melawan Vietcong.
Dengan sebuah aliansi strategis antara Indonesia dan AS saat itu, dan lewat isu antikomunisme, mau tak mau kita pun mengekor ke AS. Kepintaran untuk mengekor AS diwujudkan melalui (salah satunya) kepintaran orang-orang intelijen Soeharto untuk mengakomodasi/membina kelompok-kelompok Islam yang ada. Bahasa kasarnya: kelompok Islam di Indonesia dimanfaatkan –secara sadar ataupun tak sadar.
Tak heran, ketika konflik Afganistan terjadi, banyak anggota dari kelompok-kelompok Islam asal Indonesia yang berangkat ke sana. Sikap pemerintah, membiarkan dan malah ada yang direstui. Ketika akan masuk Afghanistan, sebagian besar melalui Pakistan. Kedekatan Pakistan dengan AS tak jauh beda dengan Indonesia saat itu, dan bisa ditebak pula berapa jauh aliansi strategis intelijen antara Pakistan dan Indonesia seperti apa. Ini berlangsung terus hingga Uni Sovyet menarik diri dari Afganistan.
Pasca Cold War, para ‘mujahidin’ dan agen-agen binaan pun kembali ke tanah air. Sekedar catatan, Omar Al Farouq dan Hambali pernah di Pakistan juga.
Pasca Cold War pula, situasi geopolitik dan geostrategis pun berubah di kawasan Asia Tengah. Kelompok-kelompok binaan intelijen Pakistan ataupun AS menjadi seperti tak bisa dikontrol lagi. Lepas kendali. Hanya satu cara menurut Setan (bahasa Chavez) dan sekutunya untuk mengontrol kelompok-kelompok itu, yaaitu isu terorisme internasional.
Indonesia Pasca World War II dan Kejatuhan Soeharto
Pasca World War II, negara-negara Sekutu membuat kesepakatan atas wilayah Asia Timur, terutama Indonesia. Mereka ingin membagi wilayah Indonesia menjadi tiga bagian. Mereka ingin menguasainya (salah satunya masuk kawasan Celebes, Papua, Maluku). Pembagian ini berdasarkan geopolitik dan geostrategi. Indonesia dinilai memiliki potensi strategis.
Soekarno memahami soal ini. Tidak salah jika Soekarno menekankan kekuatan laut dan udara untuk menjaga teritorial kita yang negara kepulauan. Hal ini disebabkan Indonesia telah dikepung oleh negara-negara perwakilan Sekutu. Malaysia, Singapura, Brunei, Papua New Guinea, Australia adalah negara-negara protektorat Inggris. Ketika kita meminta balik wilayah Borneo bagian atas (peristiwa Malindo), Australia sudah berniat menyerang Indonesia.
Soekarno terguling, Soeharto pun mengubah arah semua kebijakan. Negara-negara imperialis pun dianggap sahabat, bahkan menjadi tuan-tuan kompeni baru, dan kita jadi para inlander.
Tidak ada politik bebas aktif. Itu semua bullshit. Kita memang sekutu Barat. Merasa kepentingannya tidak terganggu di bawah era Soeharto, negara-negara imperialis pun tak mengganggu teritorial Indonesia (walaupun ada provokasi kecil lewat orang-orang kita sendiri). Imbalannya, sumber-sumber alam (energy) kita pun disedot habis.
Pasca kejatuhan Soeharto, konflik daerah pun berkecamuk dan mengancam integrasi wilayah. Teror terhadap integrasi wilayah MUDAH dimunculkan lewat isu SARA (silahkan cek timeline pasca kejatuhan Soeharto ada kejadian apa aja).
Orang-orang intelijen kita pun seperti tak berdaya pasca Soeharto jatuh. Kenapa? Lha wong mereka kehilangan duit. Ujung-ujungnya orang-orang intel gak ngurus negara lagi, malah ngurus proyek duit.
Yang jelas, pasca Soeharto jatuh, kepentingan asing pun bermain lagi. Itu pun ditambah dengan ‘orang-orang’ yang cuman mikir proyek duit di negeri sendiri.
Ancaman integrasi wilayah pasca Soeharto paling sering dan mudah di wilayah Indonesia Timur. Kenapa? Ada cerita saat perebutan Irian Jaya (operasi Trikora), tentara kita sempat menangkap seorang pendeta bule. Si pendeta mengaku seorang agen asing (Belanda). Dia tidak rela Irian Jaya kembali ke pangkuan RI. Itu dulu saat zaman Bung Karno, apalagi di era pasca Soeharto? Wah pasti lebih canggih lagi.
Kasus Ambon dan Poso bisa jadi contoh kasusnya. Hanya berawal dari permasalahan sepele, tapi memakan korban ribuan orang. Khusus kasus Ambon, gerakan RMS (Republik Maluku Selatan) pun muncul kembali. Ironisnya, si pemimpin malah dilepas Polri.
Kasus Poso, katanya, akan diarahkan seperti kejadian PRRI/PERMESTA lagi
Yang jelas, ketika kasus Ambon dan Poso terjadi, tentara pun tidak tinggal diam. Apa yang dilakukan jaringan TNI? Jaringan islam radikal pun dimanfaatkan kembali. Tentara sebenarnya bukan pro kelompok Islam. Tentara hanya memanfaatkan mereka demi NKRI. Apa jadinya jika tentara benar-benar turun ke sana? Wah isu HAM bakal berkeliaran, seperti didengungkan George Aditjondro.
Coba lihat timeline lagi. Pengiriman laskar-laskar Islam pun dimulai ke daerah-daerah konflik seperti Poso dan Ambon. Orang awam pun bingung, darimana mereka dapat pelatihan dan senjata? Laskar-laskar ini terbina lewat agen-agen binaan dan veteran Afghanistan yang lewat dari Pakistan. Tidak mengherankan jika Hambali dan Omar Al Farouq pernah masuk ke daerah sana.
Seorang jenderal yang sekarang jadi penasihat SBY saat ini pernah merestui keberangkatan laskar-laskar ini. Saya pernah lihat rekaman video, saat konflik terjadi, ada anggota laskar Islam membawa bendera merah putih, dan di belakangnya banyak tentara.
Isu Terorisme Internasional dan Pasca Kerusuhan Ambon dan Poso
Pasca kerusuhan Poso dan Ambon, keadaan bisa jadi sedikit tenang. Laskar Jihad ataupun laskar-laskar Islam yang lain ditarik mundur. The end of story? Belum!
Bisa jadi karena kerusuhan itu reda….dikarenakan ada deal-deal politik di tingkat atas dengan negara-negara imperialis. Indonesia kembali tenang, untuk sementara. Indonesia yang tidak bisa lepas dari politik kawasan dan geopolitik energy, dan ditambah kebijaksanaan intelijen kita yang masih kuat ke arah Barat (CIA dan kawan-kawan), semua setting pun mengarah demi kepentingan USA.
Lewat peristiwa 9/11, USA pun tanpa tedeng aling-aling menuding Taliban alias kelompok Islam radikal sebagai biangnya. Perang terhadap terorisme pun dikumandangkan. Invansi USA pun dilakukan ke Afghanistan.
Indonesia? Karena intel kita pro CIA dan butuh duit, Indonesia ‘dipaksa’ mengumandangkan perang terhadap terorisme karena peristiwa bom bali.
Pengejaran tersangka ‘teroris’ pun dilakukan. Tudingan aparat pun mengarah ke alumni Afghanistan, Poso, dan Ambon. Padahal, yang membina tersangka ‘teroris’ itu orang intelijen kita dan asing juga! Malah ada orang binaan eks BAKIN pernah membagikan uang ke kelompok islam radikal, dimana uangnya itu langsung dari US Embassy.
Untuk mengatasi terorisme, Detasemen 88 pun dibentuk di Polri. Untungnya namanya bukan detasemen 86. Dana dan pelatihannya pun langsung dari orang-orang CIA.
Dengan adanya momen dan aliansi strategis antara orang-orang intel kita dan CIA, gerakan islam radikal pun secara langsung dan tak langsung terkontrol dan ‘dikuasai’ lewat isu terorisme.
Kenapa jadi berbalik? Dulu, kelompok Islam radikal dimanfaatkan untuk melawan kelompok komunis. Sekarang, malah kelompok Islam radikal yang diburu. Semua demi kepentingan asing, demi kepentingan energy.
Polisi bisa aja berkilah bahwa pengejaran para ‘teroris’ itu demi hukum. Sebenarnya, kalau aliran dana ‘teroris’ itu dibuka, ujungnya atau sumber pendanaan gerakan teroris itu, jangan-jangan dari US Embassy juga.
Atau Polri udah jadi bagian dari alat kepentingan asing?
Polri dan Mantan Ka BIN Hendropriyono
Hendropriyono (HP) di TV sempat menyatakan dukungan terhadap Polri di Poso beberapa waktu lalu. Pernyataan Hendro bahwa kelompok JI banyak dari kelompok veteran Afghan. Mereka dituding yang bertanggung jawab atas bom bali dan punya ikatan dengan kelompok Poso.
Siapa sih HP? Dia adalah orang yang ikut bertanggung jawab atas ‘terjebaknya’ Indonesia di dalam isu terorisme internasional. Yang paling diuntungkan dengan isu terorisme ini, adalah USA dan sekutunya. Jangan lupa, ketika bom bali meledak, HP menjabat sebagai Ka BIN. Jangan-jangan demi kepentingan asing pula, semua intitusi (TNI-Polri) terlibat demi isu terorisme.
Jika tertarik soal POSO, just follow the money (telusuri aliran dananya). Siapa pemberi dana gerakan itu sebenarnya. Jangan asal mengatasi POSO dengan letusan senjata, sebab hanya menguntungkan kelompok pro asing (pedagang). (sumber : cedsos.com)
KOMPAS, Sabtu, 15 Maret 2003
Antara Afganistan dan Pakistan
Maruli Tobing
SALAH satu kekeliruan utama kita memahami masalah terorisme internasional adalah mengidentikkannya dengan Afganistan. Sedangkan Afganistan sebelum serangan Amerika Serikat (AS) identik dengan sosok Osama bin Laden dan Mullah Omar berikut organisasinya, Al Qaeda dan Taliban.
Lantas dalam persepsi kita muncul panorama mileniarisme dengan penekanan yang berlebihan pada penggunaan kekerasan absolut. Teknologi informasi kemudian mentransformasikannya hingga mirip perang peradaban.
Masyarakat internasional yang terjangkit paranoia menjawabnya dengan menabuh genderang perang. Sementara AS dan sekutunya melakukan perburuan internasional.
Setelah peristiwa 11 September 2001, perburuan ini tidak lagi mengenal batas-batas kedaulatan negara. Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) menyebutnya sebagai bagian dari perang melawan terorisme internasional.
Proses perubahan begitu cepat dan mendadak sebelum sempat kita memahaminya. Rakyat di negara-negara miskin yang tadinya bergelut melawan ketidakadilan yang ditimbulkan sistem perdagangan Barat tiba-tiba melihat dirinya berada di bibir jurang, yang disebut terorisme.
Berbarengan dengan itu, demokrasi dan keterbukaan yang selama ini dikumandangkan sebagai landasan tata dunia baru tenggelam ke dasar lautan kecemasan. Dunia seakan berada di ujung kiamat oleh ancaman senjata nuklir dan biologi Al Qaeda yang tidak pernah ada itu. Bayang-bayang perang peradaban makin dekat di pelupuk mata.
Namun, apakah mungkin Afganistan, yang mayoritas rakyatnya buta huruf dan usia harapan hidup rata-rata 48 tahun, begitu hebatnya hingga mampu mengobarkan perang peradaban? Lebih khusus lagi, apakah mungkin Osama bin Laden yang tinggal di goa-goa di daerah Pegunungan Kundush memicu perang peradaban melalui Al Qaeda dan jaringan sel-selnya?
SATU hal yang tidak banyak dibicarakan adalah posisi Afganistan dalam lingkup kepentingan geostrategi kawasan. Iran dan Pakistan sudah sejak lama mengincar negeri ini sebagai akses ke negara-negara Asia Tengah yang kaya minyak bumi.
Iran tidak bisa berbuat banyak karena penganut Shiah hanya minoritas di Afganistan. Gerak Iran akan mengundang pembalasan kelompok Sunni. Taliban, misalnya, pernah membantai ribuan warga Shiah untuk menyenangkan Arab Saudi dan Pakistan.
Bagi Pakistan, selain akses ekonomi, pembentukan pemerintahan boneka di Afganistan sangat penting untuk meredam kekecewaan suku Pashton, di provinsi barat laut, berbatasan dengan Afganistan. Sejak lama mereka ingin memisahkan diri dari Pakistan. Di Afganistan sendiri, masyarakat Pashton merupakan mayoritas.
Jauh sebelum invasi Soviet, direktorat intelijen Pakistan, Inter-Services Inteligence (ISI), sudah melakukan aktivitas subversi di Afganistan. Dari perbatasan Pakistan, para pembangkang seperti Hekmatyar dan mantan Presiden Rabbani melancarkan perang gerilya.
ISI menyiapkan instruktur militer, senjata, di samping sekaligus mengudarakan siaran radio Afganistan Bebas. Hal yang sama dilakukan Pakistan terhadap tetangganya, India.
Invasi Soviet akhir tahun 1970-an merupakan keberuntungan bagi Pakistan. Presiden Pakistan Jenderal Zia ul-Haq, yang tadinya dikecam Barat sebagai algojo haus darah, tiba-tiba mendapat sanjungan. AS menyebut pemerintahan Pakistan saat itu sebagai sahabat di garis depan.
Sebutan baru itu membuat Pakistan bergelimang dollar AS dan rial. Untuk mempersenjatai mujahidin saja, misalnya, AS mengeluarkan sedikitnya 3,5 milyar dollar. Distribusi senjata dan pelatihan dikendalikan ISI.
Awal tahun 1980 muncul gagasan Jenderal Zia untuk membentuk front Islam internasional. Dengan dalih melawan komunisme internasional, Washington menyetujui usulan tersebut. Melalui jaringan CIA, kekejaman Tentara Merah di Afganistan dipropagandakan ke seluruh dunia.
Dalam sekejap solidaritas Islam internasional terbentuk. Ribuan sukarelawan mengalir dari Timur Tengah, Afrika, dan Asia. Apalagi kemudian ditampilkan sosok Osama bin Laden, milyarder yang rela hidup di Pegunungan Kundush yang gersang untuk memenuhi panggilan jihad.
TIDAK lama setelah Soviet menarik pasukannya, rezim Babrak Karmal mengalami disintegrasi. Pasukan Jamiat-i-Islami yang dipimpin Akhmad Shah Massoud merebut Kabul tahun 1993. Pemerintah transisional dibentuk dengan menunjuk Rabbani sebagai presiden.
Pakistan kecewa karena pemerintahan Presiden Rabbani didominasi suku Tajik yang anti-Pakistan. Tadinya Pakistan mengharapkan Hekmatyar sebagai presiden.
Atas desakan Pakistan, milisi yang dipimpin Hekmatyar mengepung Kabul. Selama empat bulan kota ini dihujani roket. Kabul hancur total. Sedikitnya 20.000 penduduk tewas.
Tidak berhasil dengan cara itu, tahun 1994 Perdana Menteri (PM) Benazir Bhutto menyetujui pembentukan Taliban. Lebih separuh anggotanya direkrut dari berbagai pesantren di Pakistan. Arab Saudi yang khawatir atas ekspansi Shiah Iran mengalirkan dana bagi Taliban.
Sementara AS yang kecewa terhadap pemerintahan Rabbani secara diam-diam mendukung gerakan Taliban melalui Pakistan. Kekecewaan AS memuncak setelah perusahaan minyak AS, Unicol, tidak dimenangkan dalam tender pembangunan jaringan pipa minyak trans Asia Tengah-Pakistan.
Taliban berhasil merebut Kabul tahun 1996. Pada waktu itu pula, sesuai dengan instruksi ISI, Mullah Omar mengundang Osama bin Laden memindahkan markasnya di Sudan ke Afganistan.
Kemenangan Taliban membuka jalan bagi ISI untuk melanjutkan kegiatan penyelundupan barang-barang mewah dari Dubai dan Iran ke Pakistan. Selain itu, jaringan ISI kembali mengusai produksi heroin di Afganistan.
Sebaliknya, seperti diungkapkan Ahmed Rashid dalam bukunya, Taliban, Washington lagi-lagi kecewa. Setelah lebih dari tiga tahun menunggu, rezim Taliban belum juga memberi lampu hijau bagi perusahaan minyak Unocal.
AS mulai hilang kesabarannya. Awal tahun 2000, AS memasukkan Taliban dalam daftar pemerintah sponsor teroris internasional.
SETELAH runtuhnya pemerintahan dukungan komunis di Kabul, otomatis sukarelawan asing meninggalkan Afganistan. Namun, ISI berusaha memanfaatkan mereka dalam sengketanya dengan India, berkaitan dengan status Jammu dan Kashmir.
Dalam hal ini, ISI gagal menginternasionalisasikan konflik wilayah perbatasan itu. Tidak banyak yang tertarik berjihad di sana. Padahal, ISI memberi imbalan dalam bentuk uang kepada warga Muslim dari negara lain yang berjuang di Jammu dan Kashmir wilayah India.
Laporan majalah Jane’s Intelligence (5 Oktober 2001) menyebut, ISI membayar 400.000-500.000 rupee (atau sekitar Rp 36 juta – Rp 45 juta) untuk kontrak dua tahun bagi orang asing yang berjihad di Jammu dan Kashmir. Mereka juga diasuransikan 200.000-300.000 rupe. Bagi yang berhasil membunuh pasukan India, diberi bonus khusus.
Kelompok-kelompok milisi fundamentalis Pakistan yang tadinya berperang melawan Soviet ikut dialihkan ke Jammu-Kashmir. Termasuk di antaranya Jaish-e-Muhammad (JEM), Lashkar-e-Toiba (LET), Lashkar-e-Jhangvi (LEJ), dan Harkat-ul-Jihad-al-Islami (HUJI).
Kelompok milisi ini masing-masing mempunyai kamp latihan militer di Pakistan maupun Afganistan. ISI menyediakan pelatih dan senjata. Seusai latihan, mereka diterjunkan ke India untuk melakukan aksi terorisme.
Desember 1999, Pemerintah India terpaksa membebaskan Maulana Masood Azhar bersama tiga rekannya setelah kader JEM membajak Air India yang mengangkut 155 penumpang. Pesawat itu dipaksa mendarat di Kandahar. Pembajak menuntut pembebasan keempat orang tersebut dari penjara India.
Maulana Azhar, pemimpin JEM, disebut-sebut mempunyai hubungan langsung dengan ISI. Ia juga dekat dengan Osama bin Laden. Bersama rombongan Al Qaeda, Maulana Azhar ikut memerangi tentara AS di Somalia. Selain itu, ia juga melatih sel-sel pendukung Al Qaeda di Sudan.
Sementara itu, Omar Sheikh, juga aktivis JEM yang ditangkap Februari 2002 dalam kasus penculikan dan pembunuhan Daniel Pearl (wartawan Wall Street Journal), pernah mentransfer 100.000 dollar AS kepada Muhamad Atta, pembajak dalam serangan 11 September 2001. Perintah transfer uang datang dari Letjen Muhamad Ahmed, Kepala ISI.
Jadi, tidak mengherankan jika Ramzi Yousef, otak peledakan bom Gedung World Trade Center (WTC) New York tahun 1993 ditangkap di Peshawar (1995), kota yang berbatasan dengan Afganistan.
Peristiwa itu jauh sebelum Bin Laden mengeluarkan fatwa perang melawan AS dan Israel (1998).
Sejumlah figur penting Al Qaeda juga ditangkap di Pakistan, termasuk Abu Zubayda dan Muhamed Abdullah Binalshibh. Baru-baru ini giliran Khalid Sheikh Mohamed, paman Ramzi Yousef, asal Provinsi Baluchistan (Pakistan), dibekuk di Pakistan. Ia disebut-sebut perencana utama serangan 11 September.
Namun, mengapa Pakistan tidak dimasukkan dalam daftar sponsor teroris internasional? Inilah misteri “perang melawan terorisme”. (Maruli Tobing)
-swaramuslim.com-
Read Full Post »