PENGIKUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
[1]. Hanya bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka senantiasa
menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber pengambilan, baik dalam
ibadah, akidah, mu’amalah, sikap maupun akhlak. Setiap yang sesuai dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka menerima dan menetapkannya. Sebaliknya,
setiap yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka menolaknya,
tak peduli siapa pun yang berpendapat dengannya.
[2]. Menyerah kepada nash-nash syara’, serta memahaminya sesuai dengan
pemahaman As-Salafus Shalih. Mereka menyerah kepada nash-nash syara, baik
mereka memahami hikmahnya maupun tidak. Mereka tidak menghakimi nash-nash
tersebut dengan akal mereka, tetapi mereka menghakimi akal mereka dengan
nash-nash syara’.
[3]. Itiba’ dan meningglakan ibtida’. Mereka tidak mendahului perkataan
Allah dan Rasul-Nya, tidak meninggikan suara di atas suara Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan mereka juga tida rela jika seseorang meninggikan
suara di atas suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[4]. Mereka memperhatikan Al-Qur’an, baik dalam hal hafalan, bacaan maupun
penafsiran. Juga perhatian dengan Al-Hadits, baik dalam hal dirayah (matan,
isi hadits) maupun riwayah (pembawa hadits).
[5]. Mereka senantiasa berdalil dengan sunnah shahihah dan meninggalkan
pembedaan antara hadits mutawatir dengan ahad, baik dalam hukum maupun
aqidah.
[6]. Mereka tidak memiliki imam yang diagungkan, yang mereka ambil seluruh
ucapannya kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mereka menimbangnya dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah, jika ia sesuai dengan keduanya maka diterima, dan
jika tida maka di tolak.
[7]. Mereka adalah orang yang paling mengerti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Mereka mengetahui petunjuk, amal, ucapan dan
ketetapan-ketetapannya. Karena itu, mereka adalah orang yang paling
mencintai beliau dan paling setia mengikuti sunnahnya.
[8]. Mereka masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dan beriman kepada
Al-Qur’an secara keseluruhan pula [Al-Baqarah : 208].
[9]. Para pengikut Ahlus Sunnah mengagungkan para As-Salafush Shalih,
meneladani dan menjadikan mereka sebagai teladan. Mereka melihat bahwa jalan
para As-Salafus Shalih adalah jalan yang paling selamat, paling mengetahui
dan paling bijaksana.
[10]. Mereka memadukan antara nash-nash tentang suatu persoalan dan
mengembalikan al-mustasyabih (nash yang belum jelas) kepada al-muhkam (yang
telah jelas ketentuannya), yang dengan demikian mereka bisa mencapai
kebenaran dalam masalah tersebut.
[11]. Mereka memadukan antara ilmu dan ibadah. Ini berbeda dengan selain
mereka yang terkadang sibuk beribadah dengan meninggalkan ilmu, atau
sebaliknya.
[12]. Mereka memadukan antara tawwakal kepada Allah dengan ikhtiar, mereka
tidak mengingkari perlunya ikhtiar, sehingga tetap berusaha, tapi pada saat
yang sama mereka tidak menggantungkan kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : ” Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut apa yang bermanfaat
bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta
janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Apabila kamu tertimpa suatu
kegagalan, maka janganlah kamu berkata, ‘Seandainya aku berbuat demikian,
tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah, ‘Ini telah
ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki’. Karena ucapan
‘seandainya’ akan membuka (pintu) perbuatan setan”. [Hadits Riwayat Muslim
8/56 No. 2664 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
[13]. Memadukan antara kekayaan harta dengan sikap zuhud terhadapnya.
Parapengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengingkari orang yang
memiliki
kekayaan harta yang melimpah. Sebaliknya mereka memandang, setiap orang
harus memenuhi kebutuhan dirinya dan orang yang ada di bawah tanggung
jawabnya, dan tidak menggantungkan kepada orang lain. Tetapi, hendaknya
tidak menjadikan dunia sebagai puncak harapan dan keinginannya. Mereka juga
tidak boleh membenci orang yang lebih menerima dan rela terhadap yang
sedikit dari kesenangan dunia. Sebab mereka berpendapat, zuhud letaknya di
hati, yakni meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi akhiratnya.
Sedangkan orang yang lapang kekayaannya, tetapi ia meletakkannya di tangan
dan tidak di hati, dan menyedekahkannya kepada fakir miskin, maka itu adalah
karunia Allah yang diberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Dan itulah
keadaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf dan para sahabat
lainnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar radiyallahu ‘anhum.
[14]. Mereka memadukan antara khauf (takut), raja’ (harap) dan hubb (cinta),
bahkan mereka berpendapat bahwa antara ketiganya tidaklah bertentangan.
[As-Sajdah : 16]. Dalam hal ini terdapat ucapan yang mashur dari para salaf
: “Siapa yang menyembah Allah hanya dengan cinta maka dia adalah zindiq, dan
siapa yang menyembah Allah hanya dengan perasaan takut maka dia adalah
haruri (Khawarij), dan siapa yang menyembah Allah hanya dengan harapan dia
adalah Murji’. Sedang yang menyembah Allah dengan takut, cinta daan harapan
maka dia adalah mukmin sejati”.
[15]. Mereka memadukan antara kasih sayang dan lemah lembut dengan sikap
keras dan kasar. Ini berbeda dengan selain golongan mereka yang berlaku
keras atau lemah lembut dalam setiap kesempatan. Ahlus Sunnah wal Jama’ah
senantiasa menempatkan sesuatu pada tempatnya, menurut maslahat dan tuntutan
kondisi.
[16]. Mereka memadukan antara akal dengan perasaan. Akal mereka jernih,
perasaan mereka jujur dan ukuran yang mereka gunakan tepat. Mereka tidak
mengalahkan akal atas perasaan atau sebaliknya, tetapi mereka memadukan
antara keduanya dengan sesempurna mungkin. Perasaan mereka kuat, tetapi
dikendalikan oleh akal, dan akal dikendalikan oleh syari’at : “Cahaya di
atas cahaya (berlapis-lapis). Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang
Dia kehendaki”. [An-Nur : 35]
[17]. Keadilan merupakan keistimewaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang paling
agung. Mereka adalah orang yang paling adil, dan orang-orang yang paling
berhak menta’ati firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah
kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah”.
[An-Nisaa’ : 135]. Bahkan jika kelompok-kelompok lain bertikai maka mereka
akan meminta keputusan hukum kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[18]. Amanah ilmiah. Di antara bentuk amanah ilmiah yaitu ketika menukil
sesuatu, mereka tidak memalsukan atau memutarbalikkan fakta. Jika mereka
menukil dari orang yang berbeda pendapat dengan mereka, maka mereka
menukilnya dengan sempurna, tidak mengambil apa yang sesui dengan
pendapatnya dan meninggalkan yang lain. Dan mereka tidak berfatwa atau
memutuskan hukum kecuali berdasarkan apa yang mereka ketahui.
[19]. Mereka adalah kelompok moderat dan pilihan. Allah berfirman : “Dan
demikian (pula) kami menjadikan kamu, umat yang moderat dan pilihan”.
[Al-Baqarah : 143]. Sikap moderat Ahlus Sunnah wal Jama’ah tampak dalam
banyak hal, baik dalam hal aqidah, hukum, perilaku, akhlak maupun lainnya.
Mereka adalah kelompok pertengahan, antara yang berlebih-lebihan dan yang
meremehkan.
[20]. Tidak berselisih dalam masalah-masalah prinsip aqidah. Para
As-Salafush Shalih tidak berselisih dalam suatu persoalan prinsip-pun dalam
agama, juga tidak dalam prinsip-prinsip aqidah. Dalam masalah Asma’ dan
Sifat-sifat Allah misalnya, pendapat mereka adalah satu. Pendapat mereka
juga sama dalam masalah iman, defenisi dan berbagai persoalannya, dalam
masalah takdir juga dalam masalah-masalah prinsip lainnya.
[21]. Mereka meninggalkan perseteruan dalam masalah agama, serta menjauhi
orang-orang yang suka berseteru. Sebab perseteruan akan mengakibatkan
fitnah, perpecahan, fanatisme buta dan hawa nafsu.
[22]. Perhatian untuk menyatukan kalimat umat Islam pada kebenaran. Mereka
sangat peduli bagi kesatuan umat Islam, menghilangkan sebab-sebab pertikaian
dan perpecahan. Sebab mereka mengetahui, persatuan adalah rahmat dan
perpecahan adalah adzab. Dan karena Allah memerintahkan persatuan dan
melarang perselisihan. Allah berfirman : “Dan berpegang lah kamu semua
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai”. [Ali-Imran :
103].
[23]. Mereka adalah orang-orang yang memiliki wawasan yang luas, pandangan
yang jauh ke depan, paling lapang dada dalam soal perselisihan dan paling
teguh memegang berbagai peringatan. Mereka tidak risih menerima kebenaran
dari siapapun, juga tidak malu untuk kembali kepadanya. Selanjutnya, mereka
tidak memaksakan orang lain mengikuti ijtihad mereka, tidak mengatakan sesat
orang-orang yang menyelisihinya, dan tidak menjadi sesak dada mereka karena
persoalan ijtihadiyah, yang di situ banyak orang berbeda paham. Termasuk
tanda keluasan wawasan mereka yaitu mereka jauh dari fanatik, taklid buta
dan hizbiyah.
[24]. Mereka adalah orang-orang yang memiliki akhlak terpuji, rendah hati,
penuh kasih sayang dan toleran. Dan mereka selalu mengajak kepada akhlak
baik dan perbuatan terpuji.
[25]. Mereka senantiasa berdakwah kepada Allah dengan hikmah, pelajaran yang
baik dan perbedaan dengan cara yang baik pula.
[26]. Mereka adalah ghuraba, orang-orang yang memperbaiki apa yang dirusak
menusia dan selalu berbuat baik saat manusia lain rusak.
[27]. Mereka adalah Firqatun Najiyah, yang selamat dari berbagai bid’ah dan
kesesatan di dunia ini dan selamat pula dari siksa Allah kelak di akhirat.
[28]. Mereka adalah Thaifah Manshurah (kelompok yang menang), karena Allah
senantiasa bersama mereka menolong dan meneguhkan mereka.
[29]. Mereka tidak setia atau memusuhi kecuali berdasarkan agama. Mereka
tidak memenangkan hawa nafsunya, juga tidak marah karenanya. Semua kesetiaan
dan kebenciannya hanyalah semata-mata karena Allah.
[30]. Selamat dari sikap saling mengkafirkan satu sama lain. Ahlus Sunnah
hanya membantah dan menjelaskan kebenaran kepada orang yang berselisih
dengan mereka. Ini berbeda dengan kelompok lain seperti Khawarij yang senang
berselisih, menyesatkan dan mengkafirkan.
[31]. Hati dan lisan mereka selamat dari mencerca shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebaliknya, hati mereka dipenuhi kecintaan
kepada para sahabat, lisan mereka senantiasa basah memuji, karena Ahlus
Sunnah berpendapat bahwa para shahabat adalah sebaik-baik generasi
sebagaimana dinyatakan Allah dan Rasul-Nya.
[32]. Mereka selamat dari keragu-raguan, keguncangan dan kontradiksi. Ahlus
Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang awam di antara mereka. Berbeda dengan
ahli kalam atau kelompok lainnya. Ar Razi, misalnya, salah seorang pembesar
ilmu kalam yang karena kebingungan dan keguncangannya, dalam salah satu
syairnya mengatakan : ” Dan akhir dari usaha para ilmuwan adalah kesesatan”.
Bandingkanlah hal itu dengan ucapan Umar bin Abdul Aziz : “Di pagi hari aku
tidak merasakan kegembiraan kecuali dalam qadha’ dan qadar”.
[33]. Selalu mengecek ulang berita-berita yang datang dan tidak gampang
men-genalisir hukum. Mereka tidak mudah menghukumi fasik, kafir atau
tuduhan-tuduhan lain tanpa bukti dan asalan-alasan nyata.
[34]. Mereka mendapatkan berita gembira saat datangnya kematian, karena
keimanan dan istiqamah mereka dalam keimanan tersebut. [Fush-shilat : 30].
[35]. Kebaikan mereka di lipat gandakan dan derajat mereka ditingkatkan, hal
itu karena aqidah mereka benar dan iman mereka kuat.
Karena semua hal di atas tidak berarti Ahlus Sunnah adalah orang-orang
maksum. Tetapi manhaj (jalan) dan jama’ah mereka adalah yang maksum. Jika
Ahlus Sunnah memiliki kesalahan kelompok lain lebih banyak, dan jika
kelompok lain memiliki keutamaan dan ilmu maka keutamaan dan ilmu Ahlus
Sunnah lebih sempurna dan lengkap.
Karena itulah, menjadi sesuatu yang niscaya agar kita meniti manhaj Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.
[Saduran dari Mukhtashar Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Buletin Dakwah An Nur Thn IV/No.140/ Jum’at
II/R.Awal 1419H]
http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=899&bagian=0