EDHIE SAPTO WEDA Pendeta Radikal Mantan Pembunuh Bayaran :
Oleh : Fakta 27 Apr, 07 – 5:30 pm
Waspadalah!! Gerakan pemurtadan semakin agresif, kasar dan membabi buta. Dua orang pendeta radikal berasal dari dua suku, bersatu dalam misi mengkristenkan umat Islam. Mereka adalah Edhie Sapto, pendeta asal Sumenep Madura dan Yosua Adhie, pendeta asal Lamongan Jawa Timur yang mengaku mantan ustadz sebuah pesantren. Alih-alih mendapat mandat dari Yesus berupa amanat agung, mereka bertekad untuk mengkristenkan umat Islam sebanyak-banyaknya. Cara radikal ditempuh agar umat Islam dipertobatkan menjadi Kristen, sebagai hadiah kepada Yesus Kristus.
Cara kerja kedua pendeta itu cukup unik. Edhie Sapto yang lebih senior mendirikan sekaligus menjadi ketua Yayasan Kaki Dian Emas (YKDE), berlokasi di rumahnya, Kompleks Galaksi Jl Palem F-844 kelurahan Jaka Mulya, Bekasi Selatan. Sedangkan Yosua Adhie adalah pendeta yunior yang dimurtadkan Edhie Sapto tahun 2003.
Dalam tempo dua tahun, matanglah kekristenan Yosua. Maka mereka mendirikan Sekolah Alkitab Terampil dan Terpadu (SATT) dan menerbitkan majalah Midrash Talmiddim. Pendeta Edhie Sapto menjadi penasihat, sedangkan Pendeta Yosua menjabat sebagai Kepala Sekolah SATT dan Ketua Redaksi Midrash Talmiddim. Sedangkan penanggung jawabnya adalah Pendeta Juanda Senen.
Secara terang-terangan, Edhie dan Yosua mewajibkan para mahasiswa SATT untuk memurtadkan umat Islam minimal 5 orang dari daerah Madura, Cilacap, Lampung, Madura dan Riau. Jika tidak berhasil, mereka tidak memenuhi syarat kelulusan. Program ini diumumkan secara terbuka di majalah:
Midrash Talmiddim
“Program SATT: Pengutusan siswa/siswi SATT dalam rangka mencari jiwa minimal lima jiwa dari saudara sepupu sebagai salah satu syarat kelulusan yang ada di Manado, Cilacap, Madura, Lampung dan Riau” (Midrash Talmiddim edisi 4/2006, hal. 44).
Hasil misi pemurtadan ini dipublikasikan di majalah Midrash Talmiddim. Yang paling menonjol dalam majalah ini adalah publikasi foto-foto full colour seputar aksi pemurtadan oreng Madure. Foto Edhie Sapto yang sedang duduk beralas tikar bersama masyarakat Madura dengan ciri khas sarung dan peci putihnya, diberi keterangan, “Bersama kiyai di Sampang Madura, di mana para ustadz serius mendengarkan Firman Tuhan” (edisi kedua/2005, hal. 20).
Dari sekian banyak gambar, foto yang paling heboh ditampilkan di sampul depan majalah edisi 4/2006. Tampak para lelaki paruh baya yang memakai baju shalat, bersarung dan berpeci hitam, dipegang kepalanya untuk didoakan secara Kristen oleh Edhie Sapto. Para bapak ini nampak khusyuk mengikuti ritual sang pendeta. (hal. 39).
Nampak pula wanita Madura berkerudung dan beberapa pria paruh baya lengkap dengan busana shalat khas penampilan Madura. Dengan khidmat mereka duduk bersila, pandangannya tertunduk ke bawah. Sementara Pendeta Edhie Sapto berdoa dalam nama Yesus seraya mengangkat tangannya di hadapan orang-orang Madura yang sedang didoakannya. Telapak tangannya terbuka diarahkan ke kepala orang-orang Madura, seolah-olah sedang memancarkan energi tertentu. Setelah didoakan, nampak seorang bapak tak sadarkan diri seperti orang kesurupan suatu roh. Foto-foto ini diberi keterangan “Para Ustadz minta didoakan dan mereka dijamah oleh Roh Kudus.”
Dalam kesaksiannya di majalah tersebut, Yosua memamerkan prestasi pemurtadan yang dilakukannya. Dalam satu tahun ia berhasil memurtadkan lebih dari 50 orang.
Yosua Adhie menekankan pentingnya bahasa Arab dalam proses pengkristenan umat Islam. Ia menulis: “Dan puji Tuhan, dalam tahun 2004, lebih dari 50 jiwa yang bisa saya hadiahkan untuk tuhan Yesus… Untuk mempermudah dalam penginjilan, saya menggunakan Bahasa Arab untuk memberitakan Firman Tuhan. Selain itu, saya juga mulai menciptakan beberapa lagu yang berbahasa Arab untuk sarana penginjilan.” (Midrash Talmiddim edisi 3/2006, hal. 15).
Lagu yang dimaksud Yosua adalah qasidah berirama padang pasir yang biasa digemari umat Islam. Syairnya berisi tentang ajaran dan doktrin ketuhanan Yesus dalam bahasa Arab.Beberapa judul lagu Qasidah gubahan Yosua adalah: Isa Almasih Qudrotulloh, Allahu Akbar, Laukanallohu Aba’akum, Isa Kalimatullah, Ahlan Wasahlan Bismirobbina, Nahmaduka Ya Allah, dll.
Kajian perbandingan agama yang dituangkan di Midrash Talmiddim, sarat pelecehan terhadap Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, misalnya: menyatakan Allah dalam Al-Quran itu tidak memberi ampunan (tidak Maha Pengampun) dan membiarkan orang yang sesat dalam kesesatan (tidak memberikan petunjuk); memfitnah Nabi Muhammad dengan tuduhan pernah jadi orang kafir karena pernah beribadah dengan cara semedi di goa; Muhammad adalah seorang pemarah yang membuat ayat Al-Qur‘an untuk melampiaskan kemarahan kepada orang Yahudi; Nabi Muhammad tidak memiliki mukjizat; dll.
Aksi kedua pendeta radikal itu sungguh berbahaya bagi kerukunan umat beragama. Setiap saat umat Islam beribadah dan berdoa kepada Allah SWT. Setiap waktu kaum muslimin mengamalkan sunnah Nabi Muhammad SAW. Lantas, jika Allah dan Nabi Muhammad dihina secara terbuka, tentunya ini bisa memicu kerusuhan umat beragama. Ditambah dengan menjadikan orang Madura sebagai target Kristenisasi, sungguh sangat berbahaya bagi stabilitas keamanan. Karena orang Madura punya slogan “Mateh odik paggun Islam” (mati dan hidup tetap Islam). Jika kehormatan agama mereka dilecehkan, maka jawaban mereka adalah carok. (lihat: Pengkristenan Madura Pancing Amarah).
KH Kholil Ridwan, salah satu ketua MUI Pusat tidak kaget terhadap ulah Pendeta Edhie Sapto dan Pendeta Yosua. Menurutnya, ulah kedua pendeta ini hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Pendeta Suradi beberapa tahun silam. Pendeta Suradi dan orang-orang sepertinya sudah difatwa mati oleh para ulama karena melecehkan Allah dan Nabi Muhammad.
Abu Deedat mengaminkan hal ini. Maka ketua umum FAKTA ini mengimbau agar Komite Penganggulangan Bahaya Pemurtadan MUI Pusat melaporkan kasus ini secara hukum ke pihak yang berwenang.
Dalam kacamata Kristen, tindakan kedua pendeta radikal itu sangat tidak terpuji.
Romo Benny Susetyo, Sekretaris Komisi Agama dan Kepercayaan KWI mengecam aksi kedua pendeta tersebut. Dalam pandangan KWI, pemurtadan adalah tindakan yang dilarang karena bertentangan dengan amanat agung.
“Sebaiknya dilaporkan saja kepada aparat kepolisian, karena itu kasus penodaan agama. Apalagi mengganggu, bahkan menjelekkan agama orang lain, itu ada sanksi hukumnya,” tegasnya.
Semua pihak keberatan dengan ulah Pendeta Edhie Sapto dan Pendeta Yosua. Mereka sepakat agar polisi menangani kasus penodaan agama ini. Aksi kedua pendeta radikal itu semakin merajalela dan memakan banyak korban pemurtadan. Sebelum polisi bergerak, Ustadz Arsyad Sulthon berangkat dari pulau garam untuk mengadili kedua pendeta itu. Ia merasa perlu berbuat demikian karena salah seorang muridnya dimurtadkan. Ketika menjalankan misi pemurtadan di Bandung, Pendeta Yosua dibunuhnya. Kini Arsyad mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan polisi (Pikiran Rakyat 5/12/2006; Tribun Jabar 12/12/2006).
Di mata hukum positif, tindakan Arsyad adalah perbuatan anarkhis yang tidak bisa dibenarkan. Tapi dalam kacamata Islam, tindakan Arsyad ini tidak bisa disalahkan. KH Sulaiman Zachawerus menyebutkan bahwa dalam pandangan Islam, pelaku penghinaan terhadap Islam, Allah dan Nabi-Nya hukumnya dibunuh. Akan tetapi, jika umat Islam merasa terhina kemudian melakukan pembunuhan, jelas melanggar hukum positif. Masalahnya, kalau rasa keberagamaan sudah tersinggung, kadang-kadang orang membuat keputusan tanpa memandang hukum lagi.
Bagi kami yang namanya malu itu harus dibayar tunai. Kalau gara-gara itu terjadi kekerasan oleh umat Islam terhadap mereka, ya tidak boleh disalahkan. Tapi kita tidak gegabah. Kita akan menempuh jalur hukum supaya orang-orang yang sengaja menebar fitnah dan penghinaan terhadap Islam ini ditangani oleh hukum. Kalau hukum juga berlagak nggak tahu, ya.. apa boleh buat?” tegasnya. mai, mag, hbj (majalah Tabligh)
EDHIE SAPTO WEDA Pendeta Radikal Mantan Pembunuh Bayaran
Tak heran jika setiap gerakan peng-injilan Pendeta Edhie Sapto selalu memicu kerusuhan. Maklum, putra Madura betubuh kurus ini berasal dari latar belakang dunia hitam. Sebelum menjadi pendeta, Edhie adalah seorang pengusaha ganja dan pembunuh bayaran yang sudah pernah masuk penjara sudah tujuh kali dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan. (jawaban.com).
Tahun 2002 Edhie Sapto menyekap puluhan orang untuk dikristenkan di kompleks yayasannya yang di dalamnya terdapat Sekolah Tinggi Teologi (STT) dan gereja. Orang-orang dari luar yang direkrut dari berbagai daerah itu semula dijanjikan sekolah gratis dan pekerjaan di Jakarta. Di antara mereka adalah para guru ngaji di kampungnya. Setiba di Bekasi, mereka dijebloskan ke tempat penampungan yang tidak lain adalah lokasi rumah dan yayasan milik Edhie Sapto. Ternyata sekolah yang dimaksud adalah STT dan pekerjaan yang dimaksud adalah menjaga peternakan babi.
Di markas pemurtadan itu, Edhie mewajibkan warga pendatang untuk mengikuti kebaktian setiap hari di gereja. Jika menolak, maka sebagai hukumannya mereka tidak diberi makan.
Heryanto, salah seorang korban yang berasal dari Manado mengalami berbagai siksaan akibat menolak masuk Kristen. Ia sempat disiksa, ditelanjangi dan dikunci dalam kamar tanpa diberi makan dan minum beberapa hari. Karena tetap bertahan dalam Islam, Edhie mengancam Heryanto dengan menyatakan bahwa dulu dia adalah preman dan pembunuh.
Suatu hari, dengan susah payah Heryanto berhasil meloloskan diri dari cengkeraman Edhie Sapto. Ia lapor ke masjid terdekat, bertemu dengan Ustadz Masri. Dengan sigap Masri melaporkan kepada Hamdi Elgumanti, koordinator Divisi Khusus Front Bersama Umat Islam (FBUI). Hamdi segera berkoordinasi dengan MUI, FAKTA dan Brigade Ababil serta aparat keamanan.
Tak lama kemudian, markas pemurtadan Edhie Sapto digerebeg oleh FBUI bekerja sama dengan FAKTA, Brigade Ababil, MUI dan warga setempat. Aparat kepolisian dan kelurahan tak ketinggalan ikut mengamankan pendeta ini. Setelah ketangkap basah, maka Edhie menyerahkan penghuni gelap di yayasannya kepada Panglima Brigade Ababil, KH Sulaiman Zachawerus (3/5/2002).
Penyerahan korban penyekapan ini disaksikan oleh Kapolsek Bekasi Selatan Iptu Arief, Kepala Kelurahan Jaka Mulya HA Subawaihi, Ketua Divisi Khusus Front Bersama Umat Islam Hamdi, dan Ketua Umum FAKTA KH Ramly Nawai (alm.). Edhie berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Lima tahun berlalu, kini Pendeta Edhie Sapto belum kapok juga. Bersama Pendeta Yosua, ia melancarkan aksi yang lebih nekad lagi, dengan mewajibkan mahasiswanya untuk mengkristenkan umat Islam masing-masing minimal lima orang. Ia juga menargetkan aksinya untuk suku tertentu, antara lain suku Madura. Padahal sebagai orang Madura, Edhie tahu bahwa orang Madura itu adalah orang Islam yang keras dan fanatik. Mengkristenkan mereka berarti pelecehan kehormatan. Orang Madura berprinsip, bila kehormatan sudah diinjak-injak, maka harus dibayar dengan nyawa. ‘tambana todus mate,’ demikian ungkapan Madura yang berarti obatnya malu adalah kematian.
Modus yang ditempuh Edhie, dengan mendirikan pengajaran bahasa Arab yang diklaim sebagai “pengajaran metode pesantren.” Dengan lantangnya metode ini diiklankan di majalah: “Anda menginginkan putra-putri anda mahir berbahasa Arab? Datang saja ke tempat kami: Pusat Pelatihan Bahasa Arab dengan Metode Pesantren. GRATISS…!!! Dengan master instruktur: Pendeta Edhie Sapto dan Yosua Adhie, Husniah dan Fitriana Agatha” (edisi 3 hal. 21; edisi 4 hal. 44).
Sayangnya, Edhie enggan memberikan keterangan yang jujur ketika dikonfirmasi seputar SATT yang bernaung di bawah yayasannya. Keterangan yang diberikan kepada Tabligh via telepon, berbelit-belit dan sedikit mencla-mencle. Pada mulanya ia mengaku dirinya sebagai ketua SATT. Tapi ketika ditanyakan tentang kewajiban mengkristenkan umat Islam minimal 5 orang yang diterapkan kepada mahasiswanya, Edhie terdiam sejenak lalu menjawab bahwa itu mesti ditanyakan langsung kepada Yosua Adhie selaku kepala sekolah. Ini adalah jawaban aneh. Seharusnya Edhie mengerti maksud kalimat iklan SATT tersebut, karena di ujung iklan itu nama dan nomor HP Edhie dicantumkan dengan jelas. Tabligh pun mengalami kesulitan untuk crosscheck kepada Pendeta Yosua Adhie. Karena ia sudah dimartil kepalanya “baca: dibunuh” oleh Ustadz Arsyad dari Madura.
Ketika ditanya tentang target penginjilan di Madura, Edhie mengelak bahwa dirinya bersama timnya tidak pernah menargetkan suku Madura. Dialog yang dilakukan di Madura pun dilakukan secara pribadi, bukan dengan pesantren atau tokoh masyarakat.
Jawaban ini adalah jelas dusta yang sangat menggelikan, karena di majalah yang diterbitkan, kata “Madura” jelas-jelas dicantumkan sebagai salah satu suku yang diwajibkan kepada mahasiswa SATT untuk dikristenkan minimal 5 orang. (edisi 4 hlm. 44). Dusta yang kedua, di majalah yang sama dipampang foto Edhie dan anak buahnya ketika menginjili orang Madura. Foto tersebut diberi keterangan “Pendeta DR Edhie Sapto Wedha dan team berdialog dengan para ustadz di Pondok Pesantren Madura” (edisi 4 hal. 11).
Bahkan di majalah yang sama, pada halaman berikutnya Edhie memproklamirkan tekadnya untuk menyiarkan Kristen ke Madura: “Bagaimanapun sikap keras atau ganasnya mereka (suku Madura, pen.), kabar baik tentang Kristus tetap harus diberitakan. Jangan malah kita menghindar dan membenci mereka.” (edisi 4 hal. 13).
Saat menyambangi komplek yayasan dan rumah Edhie di Jaka Mulya, lagi-lagi Tabligh menemui jalan buntu. Karena kawasan yang dikelilingi oleh pagar tinggi itu dijaga ketat oleh para satpam. Seolah sedang menutup-nutupi sesuatu dalam komplek tersebut, para satpam yang kurang bersahabat itu melarang wartawan Tabligh untuk wawancara, memasuki komplek maupun sekedar mengambil gambar lokasi dengan kamera foto.
Dari pintu yang terbuka, wartawan Tabligh sempat melihat ada beberapa orang yang sedang meringis kesakitan. Saat ditanya kenapa orang tersebut, salah seorang satpam menjawab dengan malu-malu, “Itu orang yang sedang dihukum karena melakukan dosa.”
Entah, dosa apa yang telah diperbuat oleh orang tersebut. Apakah sama seperti yang dialami oleh Heryanto lima tahun yang lalu? Wallahu a’lam. mai, mag, hbj (majalah Tabligh) -swaramuslim.com-