Feeds:
Posts
Comments

Archive for December 8th, 2006

Suburnya Perzinahan

HIV/AIDS dalam Perspektif Islam dan Upaya Pencegahannya

Jumat, 8 Des 06 09:19 WIB

Assalamu’alaikum wr. wb.

Langsung saja nih, pak Ustaz. Mumpung masih hangat dibicarakan di bulan ini berkenaan dengan HIV/AIDS yang menurut Dien kita adalah merupakan bentuk kemarahan Allah SWT terhadap manusia yang tidak mau mengikuti segala perintah dan larangan-Nya. Kebanyakan dari kita akan selalu su’udzon bila kita berjumpa dengan ODHA atau Orang Dijangkiti HIV AIDS bahwa ODHA tersebut pasti tingkah lakunya nggak bener, suka ganti-ganti pasangan atau jajan dan lain sebagainya.

Tetapi kalau melihat data-data yang diberitakan bahwa korban-korban virus tersebut tidak hanya yang bertingkah laku nggak bener saja, orang-orang yang taat beragamapun ada juga yang terjangkiti bahkan anak-anak yang tak berdosapun justru paling banyak terkena. HIngga kini sudah terdata 500.000 anak-anak yang meninggal dikarenakan virus tersebut.

Belum lagi sikap kita terhadap ODHA (penderita HIV/AIDS) di mana sering kali adalah menjauhinya, mengkucilkannya dari pergaulan sehari-hari. Alangkah sedihnya ODHA, yang tidak tahu kenapa dia terkena virus tersebut walaupun tidak pernah berbuat yang melanggar ketentuan agama?

Di samping itu, Virus HIV/AIDS juga sudah merambah ke wilayah negara-negara yang notabene adalah negara Islam, seperti negara-negara di Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia.(data terakhir 1 juta orang ODHA),

Yang menjadi pertanyaan saya, apakah para ulama kita hanya berdiam diri saja? Cukupkan hanya dibiarkan saja, melihat sudah begitu banyaknya penderita HIV/AIDS merambah dunia Islam? Apakah tidak ada cara pencegahan yang bisa diterapkan? Mungkin masyarakat kurang paham dengan esensi Islam sehingga mereka terjangkiti virus HIV/AIDS? dan bila berjumpa dengan anggota keluarganya terjangkiti hanya bisa mengucilkannya?

Sudah seharusnya para Ulama, kyai-kyai dan cendikiawan Islam kita bersama-sama mengadakan program yang realistis untuk mencegah umat muslim terjangkiti HIV AIDS, karena saya yakin ISLAM sebagai rahmatan alamin pasti memberikan jalan keluar yang terbaik untuk mencegahnya.

Mohon ma’af bila ada salah kata yang tidak mengena di hati.

Rgds,

Abu_luthfie

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tentu saja kita tidak boleh menggeneralisir bahwa semua penderita virus HIV/AIDS adalah pelaku zina. Kita juga yakin bahwa tidak semua ODHA merupakan para pendosa semua. Namun kita juga jangan mengalihkan masalah, sebab urusan penyakit AIDS itu memang berkisar dan bersumber dari zina yang dilanggar.

Kita sudah dilarang Allah SWT untuk mendekati zina. Allah tidak hanya melarang zina, tetapi sekedar mendekati saja sudah haram dan dilaknat. Tapi kalau masih ‘ngeyel‘ juga, jangan marah kalau azab turun.

Dan nyatanya, zina bukan hanya didekati, tapi dikerjakan secara langsung, bahkan secara rutin tiap hari, dengan terang-terangan, tanpa rasa takut pada tuhan, malah terus menerus dipromosikan lewat semua media, agar zina semakin meluas dan merakyat.

Semua film, sinetron, infotainment serta nyaris program TV tidak pernah berhenti dari mengajak zina, minimal menerimanya sebagai sebuah kewajaran, lalu setiap hari berita perzinaan terus menerus ditayangkan, bukan dengan rasa jijjik, tapi dengan bangga, sambil tertawa-tawa. Maka ketika Allah SWT menurunkan penyakit itu, sebenarnya Dia masih sangat sopan dengan tegurannya.

Semua Penyakit Ada Obatnya

Semua penyakit ada obatnya, kecuali sebuah penyakit yaitu penyakit tua. Itu adalah jaminan dari Allah SWT, sebagaimana telah disampaikan oleh utusan-Nya.

من حديث زياد بن علاقة عن أسامة بن شريك قال: كنت عند النبي صلي الله عليه وسلم وجاءت الأعراب فقالوا: يا رسول الله أنتداوى ؟؟ فقال, ” نعم يا عباد الله تداووا فان الله عز وجل لم يضع داء إلا وضع له شفاء غير داء واحد ” قالوا: ما هو ؟؟ قال, ” الهرم ”

Dari Hadits Ziyad bin ‘Ilaqah bin Usamah bin Syuraik berkata,” Aku bersama nabi SAW, ketika itu seorang arab datang bertanya,”Ya Rasulullah, apakah kami diperintahkan untuk berobat?” Beliau SAW menjawab, “Ya, berobatlah wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan juga obatnya, kecuali satu penyakit.” “Penyakit apa itu?” Nabi SAW menajwab, “Penyakit tua.”(HR Bukhari, Abu Daud,An-Nasa’i, Tirmizy, Ibnu Hazm dengan sanad yang shahih)

Dalam lafadz lainnya disebutkan bahwa semua penyakit ada obatnya, hanya saja adakalanya obat itu ditemukan oleh sebagian orang dan ada kalanya tidak oleh sebagian orang lainnya.

وفي لفظ, ” إن الله لم ينزل داء إلا انزل له شفاء علمه من علمه وجهله من جهله

Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan obatnya. Maka sebagian orang mengetahui obatdan sebagian orang tidak mengetahuinya. (HR Ahmad dalam Musnad )

Hadits kedua ini juga dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’.

Kita tidak boleh sombong untuk menolak bahwa memang Allah SWT menurunkan penyakit sebagai bentuk azab dan peringatan di dunia. Semua diakibatkan oleh kedegilan manusia juga. Azab dan peringatan itu tidak boleh dinafikan begitu saja.

Azab dan Peringatan Tidak Terbatas Buat yang Zalim Saja

Dan sebuah azab mungkin saja menimpa orang yang tidak bersalah, bukan terbatas hanya kepada orang-orang zalim saja di antara manusia. Hal itu mungkin saja disengaja, misalnya apabila kebejadan manusia sudah tidak tertahankan lagi. Lantaran sudah begitu merajalela, sangat memasyarakat dan seakan sudah menjadi kelaziman.

Maka boleh-boleh saja bagi Allah SWT menimpakan azab itu selain kepada orang zalim, juga kepada yang tidak zalim. Semua itu hak Allah SWT terhadap hamba-Nya. Sebagaimana firman-nya:

Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Anfal:25)

Maksudnya perintah “Peliharalah dirimu” artinya hendaklah kalian takut, berhati-hati dan mengantisipasidatangnya bencana massal, yang menimpa semua orang secar random.

Peringatan ini berlaku bukan buat orang zalim saja, karena mungkin orang zalim memang sudah tidak ada gunanya lagi untuk diingatkan. Peringatan ini justru ditujukan kepada orang-orang baik untuk menghentikan perbuatan orang zalim dari maksiat dan kemungkaran. Jangan hanya didiamkan saja, harus dicegah, diperangi, dibasmi dan dihilangkan selamanya.

Kalau orang baik-baik mendiamkan saja perilaku seks bebas, kumpul kebo, bi-sex, sodomi, lesbianisme dan semua variannya, maka Allah ST sudah peringatkan bahwa mereka yang baik-baik pun akan ditimpakan azab juga. Hikmahnya agar orang-orang yang baik-baik itu tidak egois dengan kebaikannya dan menutup diri dari segala kemungkaran yang terjadi di sekelilingnya. Orang-orang baik itu akan dianggap sebagai orang tidak baik bila membiarkan saja terjadinya kemungkaran.

Orang-orang baik wajib dalam arti yang sesungguhnya untuk menghentikan sekarang juga pezinaan dalam bentuk apapun. Orang-orang baik diharamkan berlindung di balik kebebasan berekspresi, lalu santai-santai saja melihat kemungkaran merambah semua sudut kehidupan. Maka orang-orang baik pun ikut juga diazab, agar merasakan bahwa sikap diam mereka itu pun melahirkan murka dari Allah juga.

Yang Harus Dilakukan terhadap Virus HIV

Yang harus dilakukan bukan kampanye seks yang aman, atau membagi-bagikan kondom gratis, juga bukan berhenti pada sekedar mengasihi siapa saja yang terkena virus itu. Semua itu tidak akan ada gunanya dan tidak akan mengubah apa pun. Yang harus dilakukan sekarang ini adalah hal-hal berikut ini:

  • Menghentikan semua tayangan seks dan yang sejenisnya di semua stasiun TV dan media, baik cetak maupun elektronik. Termasuk keberadaan para banci di semua programnya, baik sebagai penyanyi, pelawak atau pun pemain sinetron/film.
  • Mengganti semua anggota LSF dengan korban-korban AIDS/HIV yang sudah merasakan langsung dampak negatifnya dan mengerti bahwa diri mereka adalah korabn seks bebas. Yang demikian itu agar lembaga ini mau bekerja dengan hati nurani yang paling dalam, bukan sekedar stempel formal yang bergigi ompong.
  • Mencabut semua izin lokalisasi baik yang formal dan informal.
  • Mengganti semua tempat hiburan mesum dengan jenis usaha yang halal dan bermanfaat positif buat masyarakat
  • Menutup semua bentuk kehidupan malam yang hedonis, baik yang ada izinnya atau yang liar.
  • Menutup semua jalur produksi dan distribusi keping-keping VCD porno, semi porno, berbau porno, nyaris porno, hampir porno, setengah porno, atau nyerempet porno dan segala variannya.
  • Mengganti semua aparat yang melindungi pornografi dengan aparat yang masih punya idealisme sejati. Sebab semua pusat-pusat pornografi itu sudah ada datanya di tangan aparat dan juga masyarakat, hanya saja aparat tidak punya nyali untuk menutupnya. Mungkinkarena sahamnya dimiliki oleh orang ‘kuat’ yang lebih kuat dari aparat, ataudilindungi oleh ‘atasannya’ aparat.
  • Menghentikan semua bentuk penyuluhan sesat tentang AIDS/HIV, seperti membagikan kondom gratis, atau mengajarkan seks (baca: zina) yang aman. Karena program seperti ini tidak pernah berguna dan tidak ada artinya. Sama saja menahan serangan tsunami dengan sekarung pasir. Seharusnya kalau tahu akan ada tsunami, lebih baik segera pindah cari tempat yang lebih tinggi menjauhi pantai. Karena tidak ada tsunami yang aman untuk dihadapi, sebagaimana tidak ada zina yang aman untuk dikerjakan.
  • Membuat undang-undang anti pornografi serta melengkapinya dengan peraturan-peraturan teknisnya hingga sampai bentuk-bentuk hukumannya. Segera saja berhenti dari berdebat tentang definisi pornografi yang tidak ada habisnya, sebab tukang becak di pinggir jalan pun tahu apa itu gambar porno.
  • Menghukum mati para pezina muhshan dengan disaksikan oleh semua pemirsa TV di negeri ini dengan siaran langsung. Tentunya setelah melalui proses pengadilan yang sah dan formal
  • Marilah kita semua bertobat nashuha, mulai dari rakyat serta pejabat, atas sikap masa bodohnya dengan penyebaran paham seks bebas selama ini dengan berkedok kepada kebebasan seni dan ekspresi.

Kalau semua tindakan di atas sudah kita lakukan, boleh-lah kita berharap obat anti AIDS/HIV ditemukan oleh manusia. Tapi selama hal di atas masih berupa wacana, apalagi masih jadi perdebatan, maka korban-korban akan terus berjatuhan, bukan hanya pelaku zina, tetapi azab itu akan terus menerus merenggut nyawa manusia yang tidak berdosa, lewat berbagai cara penularannya yang dahsyat.

Tinggal terserah kita, mau obat atau tidak? Kalau mau obat, ya tobat.

Sayangnya, kalangan pendukung zina pasti mencak-mencak kalau membaca tulisan seperti ini. Sebab mereka merasa ruang geraknya dibatasi oleh agama. Bahkan boleh jadi mereka malah balik menyerang dengan mengatakan kita ini munafik lah dan sebagainya.

Akhirnya yang sesungguhnya jadi musuh kita ternyata bukan virus HIV, melainkan barangkali malah teman-teman kita sendiri, yang -sayangnya- otaknya sudah dipenuhi dengan beragam virus porno. Sehinggga apapun yang berbau porno dan mengarah kepada perzinaan, pasti akan dibelanya mati-matian. Sebaliknya, semua orang yang anti pornografi pasti dikatakan sinting. Nauzu billahi min zalik…

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Read Full Post »

Syaikh Hasan Al-Banna 1906 – 1949

Dilahirkan di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir tahun 1906 M. Ayahnya, Syaikh Ahmad al-Banna adalah seorang ulama fiqh dan hadits. Sejak masa kecilnya, Hasan al Banna sudah menunjukkan tanda-tanda kecemerlangan otaknya. Pada usia 12 tahun, atas anugerah Allah, Hasan kecil telah menghafal separuh isi Al-Qur’an.

Sang ayah terus menerus memotivasi Hasan agar melengkapi hafalannya. Semenjak itu Hasan kecil mendisiplinkan kegiatannya menjadi empat. Siang hari dipergunakannya untuk belajar di sekolah. Kemudian belajar membuat dan memperbaiki jam dengan orang tuanya hingga sore. Waktu sore hingga menjelang tidur digunakannya untuk mengulang pelajaran sekolah.

Sementara membaca dan mengulang-ulang hafalan Al-Qur’an ia lakukan selesai shalat Shubuh. Maka tak mengherankan apabila Hasan al Banna mencetak berbagai prestasi gemilang di kemudian hari. Pada usia 14 tahun Hasan al Banna telah menghafal seluruh Al-Quran. Hasan Al Banna lulus dari sekolahnya dengan predikat terbaik di sekolahnya dan nomor lima terbaik di seluruh Mesir. Pada usia 16 tahun, ia telah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Darul Ulum. Demikianlah sederet prestasi Hasan kecil.
Selain prestasinya di bidang akademik, Ia juga memiliki bakat leadership yang cemerlang.

Semenjak masa mudanya Hasan Al-Banna selalu terpilih untuk menjadi ketua organisasi siswa di sekolahnya. Bahkan pada waktu masih berada di jenjang pendidikan i’dadiyah (semacam SMP), beliau telah mampu menyelesaikan masalah secara dewasa, kisahnya begini:
Suatu siang, usai belajar di sekolah, sejumlah besar siswa berjalan melewati mushalla kampung. Hasan berada di antara mereka. Tatkala mereka berada di samping mushalla, maka adzan pun berkumandang. Saat itu, murid-murid segera menyerbu kolam air tempat berwudhu. Namun tiba-tiba saja datang sang imam dan mengusir murid-murid madrasah yang dianggap masih kanak-kanak itu. Rupanya, ia khawatir kalau-kalau mereka menghabiskan jatah air wudhu. Sebagian besar murid-murid itu berlarian menyingkir karena bentakan sang imam, sementara sebagian kecil bertahan di tempatnya. Mengalami peristiwa tersebut, al Banna lalu mengambil secarik kertas dan menulis uraian kalimat yang ditutup dengan satu ayat Al Qur’an, “Dan janganlah kamu mengusir orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.”(Q. S. Al-An’aam: 52).
Kertas itu dengan penuh hormat ia berikan kepada Syaikh Muhammad Sa’id, imam mushalla yang menghardik kawan-kawannya. Membaca surat Hasan al Banna hati sang imam tersentuh, hingga pada hari selanjutnya sikapnya berubah terhadap “rombongan anak-anak kecil” tersebut. Sementara para murid pun sepakat untuk mengisi kembali kolam tempat wudhu setiap mereka selesai shalat di mushalla. Bahkan para murid itu berinisiatif untuk mengumpulkan dana untuk membeli tikar mushalla!

Pada usia 21 tahun, beliau menamatkan studinya di Darul ‘Ulum dan ditunjuk menjadi guru di Isma’iliyah. Hasan Al Banna sangat prihatin dengan kelakuan Inggris yang memperbudak bangsanya. Masa itu adalah sebuah masa di mana umat Islam sedang mengalami kegoncangan hebat. Kekhalifahan Utsmaniyah (di Turki), sebagai pengayom umat Islam di seluruh dunia mengalami keruntuhan. Umat Islam mengalami kebingungan. Sementara kaum penjajah mempermainkan dunia Islam dengan seenaknya. Bahkan di Turki sendiri, Kemal Attaturk memberangus ajaran Islam di negaranya. Puluhan ulama Turki dijebloskan ke penjara. Demikianlah keadaan dunia Islam ketika al Banna berusia muda. Satu di antara penyebab kemunduran umat Islam adalah bahwa umat ini jahil (bodoh) terhadap ajaran Islam.

Maka mulailah Hasan al Banna dengan dakwahnya. Dakwah mengajak manusia kepada Allah, mengajak manusia untuk memberantas kejahiliyahan (kebodohan). Dakwah beliau dimulai dengan menggalang beberapa muridnya. Kemudian beliau berdakwah di kedai-kedai kopi. Hal ini beliau lakukan teratur dua minggu sekali. Beliau dengan perkumpulan yang didirikannya “Al-Ikhwanul Muslimun,” bekerja keras siang malam menulis pidato, mengadakan pembinaan, memimpin rapat pertemuan, dll.

Dakwahnya mendapat sambutan luas di kalangan umat Islam Mesir. Tercatat kaum muslimin mulai dari golongan buruh/petani, usahawan, ilmuwan, ulama, dokter mendukung dakwah beliau.
Pada masa peperangan antara Arab dan Yahudi (sekitar tahun 45-an), beliau memobilisasi mujahid-mujahid binaannya. Dari seluruh Pasukan Gabungan Arab, hanya ada satu kelompok yang sangat ditakuti Yahudi, yaitu pasukan sukarela Ikhwan. Mujahidin sukarela itu terus merangsek maju, sampai akhirnya terjadilah aib besar yang mencoreng pemerintah Mesir. Amerika Serikat, sobat kental Yahudi mengancam akan mengebom Mesir jika tidak menarik mujahidin Ikhwanul Muslimin. Maka terjadilah sebuah tragedi yang membuktikan betapa pengecutnya manusia. Ribuan mujahid Mesir ditarik ke belakang, kemudian dilucuti. Oleh siapa? Oleh pasukan pemerintah Mesir! Bahkan tidak itu saja, para mujahidin yang ikhlas ini lalu dijebloskan ke penjara-penjara militer. Bahkan beberapa waktu setelah itu Hasan al Banna, selaku pimpinan Ikhwanul Muslimin menemui syahidnya dalam sebuah peristiwa yang dirancang oleh musuh-musuh Allah.

Dakwah beliau bersifat internasional. Bahkan segera setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Hasan al Banna segera menyatakan dukungannya. Kontak dengan tokoh ulama Indonesia pun dijalin. Tercatat M. Natsir pernah berpidato didepan rapat Ikhwanul Muslimin. (catatan : M. Natsir di kemudian hari menjadi PM Indonesia ketika RIS berubah kembali menjadi negara kesatuan).

Syahidnya Hasan Al-Banna tidak berarti surutnya dakwah beliau. Sudah menjadi kehendak Allah, bahwa kapan pun dan di mana pun dakwah Islam tidak akan pernah berhenti, meskipun musuh-musuh Islam sekuat tenaga berusaha memadamkannya.
Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (Q. S. Ash-Shaff: 8)

Masa-masa sepeninggal Hasan Al-Banna, adalah masa-masa penuh cobaan untuk umat Islam di Mesir. Banyak murid-murid beliau yang disiksa, dijebloskan ke penjara, bahkan dihukum mati, terutama ketika Mesir di perintah oleh Jamal Abdul Naseer, seorang diktator yang condong ke Sovyet. Banyak pula murid beliau yang terpaksa mengungsi ke luar negeri, bahkan ke Eropa. Pengungsian bagi mereka bukanlah suatu yang disesali. Bagi mereka di mana pun adalah bumi Allah, di mana pun adalah lahan dakwah. Para pengamat mensinyalir, dakwah Islam di Barat tidaklah terlepas dari jerih payah mereka. Demikianlah, siksaan, tekanan, pembunuhan tidak akan memadamkan cahaya Allah. Bahkan semuanya seakan-akan menjadi penyubur dakwah itu sendiri, sehingga dakwah Islam makin tersebar luas.

Di antara karya penerus perjuangan beliau yang terkenal adalah Fi Dzilaalil Qur’an (di bawah lindungan Al-Qur’an) karya Sayyid Quthb. Sebuah kitab tafsir Al-Qur’an yang sangat berbobot di jaman kontemporer ini. Ulama-ulama kita pun menjadikannya sebagai rujukan terjemahan Al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia. Di antaranya adalah Al-Qu’an dan Terjemahannya keluaran Depag RI, kemudian Tafsir Al-Azhar karya seorang ulama Indonesia Buya Hamka.

Mengenal sosok beliau akanlah terasa komplit apabila kita mengetahui prinsip dan keyakinan beliau. Berikut ini adalah prinsip-prinsip yang senantiasa beliau pegang teguh dalam dakwahnya:

Saya meyakini: “Sesungguhnya segala urusan bagi Allah. Nabi Muhammad SAW junjungan kita, penutup para Rasul yang diutus untuk seluruh umat manusia. Sesungguhnya hari pembalasan itu haq (akan datang). Al-Qur’an itu Kitabullah. Islam itu perundang-undangan yang lengkap untuk mengatur kehidupan dunia akhirat.”

Saya berjanji: “Akan mengarahkan diri saya sesuai dengan Al-Qur’an dan berpegang teguh dengan sunah suci. Saya akan mempelajari Sirah Nabi dan para sahabat yang mulia.”

Saya meyakini: “Sesungguhnya istiqomah, kemuliaan dan ilmu bagian dari sendi Islam.”

Saya berjanji: “Akan menjadi orang yang istiqomah yang menunaikan ibadah serta menjauhi segala kemunkaran. Menghiasi diri dengan akhlak-akhlak mulia dan meninggalkan akhlak-akhlak yang buruk. Memilih dan membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan islami semampu saya. Mengutamakan kekeluargaan dan kasih sayang dalam berhukum dan di pengadilan. Tidak akan pergi ke pengadilan kecuali jika terpaksa, akan selalu mengumandangkan syiar-syiar islam dan bahasanya. Berusaha menyebarkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk seluruh lapisan umat ini.”

Saya meyakini: “Seorang muslim dituntut untuk bekerja dan mencari nafkah, di dalam hartanya yang diusahakan itu ada haq dan wajib dikeluarkan untuk orang yang membutuhkan dan orang yang tidak punya.

Saya berjanji: “Akan berusaha untuk penghidupan saya dan berhemat untuk masa depan saya. Akan menunaikan zakat harta dan menyisihkan sebagian dari usaha itu untuk kegiatan-kegiatan kebajikan. Akan menyokong semua proyek ekonomi yang islami, dan bermanfaat serta mengutamakan hasil-hasil produksi dalam negeri dan negara Islam lainnya. Tidak akan melakukan transaksi riba dalam semua urusan dan tidak melibatkan diri dalam kemewahan yang diatas kemampuan saya.”

Saya meyakini: “Seorang muslim bertanggung jawab terhadap keluarganya, diantara kewajibannya menjaga kesehatan, aqidah dan akhlak mereka.”

Saya berjanji: “Akan bekerja untuk itu dengan segala upaya. Akan menyiarkan ajaran-ajaran islam pada seluruh keluarga saya, dengan pelajaran-pelajaran islami. Tidak akan memasukkan anak-anak saya ke sekolah yang tidak dapat menjaga aqidah dan akhlak mereka. Akan menolak seluruh media massa, buletin-buletin dan buku-buku serta tidak berhubungan dengan perkumpulan-perkumpulan yang tidak berorientasi pada ajaran Islam.”

Saya meyakini: “Di antara kewajiban seorang muslim menghidupkan kembali kejayaan Islam dengan membangkitkan bangsanya dan mengembalikan syariatnya, panji-panji islam harus menjadi panutan umat manusia. Tugas seorang muslim mendidik masyarakat dunia menurut prinsip-prinsip Islam.”

Saya berjanji: “Akan bersungguh-sungguh dalam menjalankan risalah ini selama hidupku dan mengorbankan segala yang saya miliki demi terlaksananya misi (risalah) tersebut.”

Saya meyakini: “Bahwa kaum muslim adalah umat yang satu, yang diikat dalam satu aqidah islam, bahwa islam yang memerintahkan pemelukya untuk berbuat baik (ihsan) kepada seluruh manusia.”

Saya berjanji: “Akan mengerahkan segenap upaya untuk menguatkan ikatan persaudaraan antara kaum muslimin dan mengikis perpecahan dan sengketa di antara golongan-golongan mereka.”

Saya meyakini: “Sesungguhnya rahasia kemunduran umat Islam, karena jauhnya mereka dari “dien” (agama) mereka, dan hal yang mendasar dari perbaikan itu adalah kembali kepada pengajaran Islam dan hukum-hukumnya, itu semua mungkin apabila setiap kaum muslimin bekerja untuk itu.”
(sumber : Masjid.or.id)

Hassan al Banna

Hassan al Banna, Pengasas Ihkwan Muslim – Muslim Brotherhood

Hassan al Banna (14 Oktober 190612 Februari, 1949, Arab:حسن البنا) merupakan reformis sosial dan politik Mesir yang terkenal sebagai pengasas gerakan Jamiat al-Ikhwan al-Muslimun.

Hassan al Banna dilahirkan pada Oktober 1906 di desa al-Mahmudiyyah di daerah al-Bahriyyah, Iskandariah, Mesir (barat laut Kaherah). Beliau berasal dari sebuah perkampungan petani yang terkenal kuat mentaati ajaran dan nilai-nilai Islam, serta keluarga ulama yang dihormati.

Bapanya, Syeikh Ahmad bin Abdul Rahman al-Banna, merupakan seorang seorang ulama, imam, guru dan seorang pengarang terkenal, lulusan Universiti Al-Azhar, yang menulis dan menyumbang menulis kitab-kitab hadis dan fiqh perundangan Islam dan juga memiliki kedai membaiki jam dan menjual gramophone. Syeikh Ahmad bin Abdul Rahman al-Banna turut mengkaji, menyelidik dan mengajar ilmu-ilmu agama seperti tafsir al-Qur’an dan hadis kepada penduduk tempatan, dan dia banyak dipengaruhi oleh fikrah serta cita-cita perjuangan Syeikh Muhammad Abduh dan Sayyid Jamaluddin al-Afghani.

Sungguhpun Syeikh Ahmad al-Banna dan isterinya memiliki sedikit harta, mereka bukannya orang yang kaya dan bertungkus lumus untuk mencari nafkah, terutama selepas berpindah ke Kaherah pada 1924; sebagaimana yang lain, mereka mendapati bahawa pendidikan Islam dan kealiman seseorang tidak lagi dihargai di ibu negara itu, dan hasilkerja tangan mereka tidak mampu menyaingi industri besar-besaran.. (Mitchell 1969, 1; Lia 1998, 22-24)

Ketika Hassan al-Banna berusia dua belas tahun, beliau menjadi pemimpin badan Latihan Akhlak dan Jemaah al-Suluka al-Akhlaqi yang dikelolakan oleh gurunya di sekolah. Pada peringkat ini beliau telah menghadiri majlis-majlis zikir yang diadakan oleh sebuah pertubuhan sufi, al-Ikhwan al-Hasafiyyah, dan menjadi ahli penuh pada tahun 1922. (Mitchell 1969, 2; Lia 25-26). Melalui pertubuhan ini beliau berkenalan dengan Ahmad al-Sakri yang kemudian memainkan peranan penting dalam penubuhan Ikhwan Muslimin.

Ketika berusia tiga belas tahun, Hassan al Banna menyertai tunjuk perasaan semasa revolusi 1919 menentang pemerintahan British. (Mitchell 1969, 3; Lia 1998, 26-27)

Pada tahun 1923, pada usia 16 tahun dia memasuki Dar al ‘Ulum, sekolah latihan guru di Kaherah. Kehidupan di ibu negara menawarkannya aktiviti yang lebih luas berbanding di kampung dan peluang bagi bertemu dengan pelajar Islam terkemuka (kebanyakannya dengan bantuan kenalan ayahnya), tetapi dia amat terganggu dengan kesan Kebaratan yang dilihatnya disana, terutamanya peningkatan arus sekular seperti parti-parti politik, kumpulan-kumpulan sasterawan dan pertubuhan-pertubuhan sosial sekular terdorong ke arah melemahkan pengaruh Islam dan meruntuhkan nilai moral traditional. (Mitchell 1969, 2-4; Lia 1998, 28-30)

Dia turut kecewa dengan apa yang dilihatnya sebagai kegagalan sarjana Islam di Universiti al-Azhar untuk menyuarakan bangkangan mereka dengan peningkatan atheism dan pengaruh pendakwah Kristian. (Mitchell 1969, 5)

Beliau kemudian menganggotai pertubuhan Jama’atul Makram al-Akhlaq al-Islamiyyah yang giat mengadakan ceramah-ceramah Islam. Melalui pertubuhan ini, Hasan al-Banna dan rakan-rakannya menjalankan dakwah ke serata pelosok tempat, di kedai-kedai kopi dan tempat-tempat perhimpunan orang ramai.

Pada peringkat inilah beliau bertemu dan mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh Islam terkenal seperti Muhibbuddin al-Khatib, Muhammad Rashid Reda, Farid Wajdi dan lain-lain.

Di tahun akhirnya di Dar al-‘Ulum, dia menulis bahawa dia bercadang menzuhudkan dirinya menjadi “penasihat dan guru” bagi golongan dewasa dan kanak-kanak, agar dapat megajar mereka “matlamat agama dan sumber kegembiraan dan keriangan dalam kehidupan”. Dia mendapat ijazah pada tahun 1927 dan diberikan jawatan sebagai guru bahasa Arab di sekolah rendah kebangsaan di Isma’iliyya, bandar provincial terletak di Zon Terusan Suez. (Mitchell 1969, 6)

Al-Imam Hassan al-Banna kemudainnya menubuhkan gerakan Ikhwan Muslimin di bandar Ismailiyyah pada Mac 1928. Ketika itu beliau berusia 23 tahun.

Di Ismailiyya, sebagai tambahan kepada kelas siangnya, dia melaksanakan matlamatnya memberi kelas malam bagi keluarga anak muridnya. Dia juga berceramah di masjid, malah dikedai kopi, yang masa itu masih baru dan dipertikaikan nilai moralnya. Pada awalnya, sesetengah pandangannya berkenaan perlaksanaan Islam yang mudah mendorong kepada tentangan hebat dengan elit keagamaan tempatan, dan dia mengamalkan polisi mengelakkan kontrovesi agama. (Mitchell 1969, 7; Lia 1998, 32-35)

Dia sedih dengan tanda-tanda jelas pengawalan ketenteraan dan ekonomi di Isma’iliyya: kem ketenteraan British, kemudahan awam dimiliki oleh kepentingan luar, dan tempat tinggal mewah milik pekerja Syarikat Terusan Suez, bersebelahan dengan rumah haram pekerja Mesir. (Mitchell 1969, 7)

Setelah berkhidmat 19 tahun dalam bidang perguruan, beliau meletakkan jawatan pada tahun 1946 untuk menyusun kegiatan dakwah dengan berkesan dalam masyarakat di bandar itu. Pengalaman ahli jemaah yang dikumpulkan sekian lama menjadikan Ikhwan Muslimin sebuah gerakan yang berpengaruh.

Ternyata Hassan al-Banna adalah pemimpin yang bijak mengatur organisasi. Ikhwan Muslimin disusun dalam tiga peringkat iaitu, memperkenalkan Ikhwan dan menyebarkan dakwah asas melalui ceramah serta kegiatan kebajikan. Kemudian membentuk keperibadian anggota agar bersedia menjalani jihad seterusnya melaksanakan cita-cita perjuangan Islam dengan tegas. Ikhwan Muslimin berjaya menjadi sebuah gerakan yang menggegarkan Mesir terutama selepas perang dunia kedua apabila gerakan itu turut bertanding di dalam perebutan kuasa politik.

Pengaruh Ikhwan yang kian kuat amat dikhuatiri oleh kerajaan Mesir yang diketuai oleh al-Nukrasi Bassa dari parti al-Sa’di yang bertindak mengharamkan Ikhwan Muslimin pada 1948 atas tuduhan merancang satu pemberontakan untuk menjatuhkan kerajaan. Sungguhpun begitu Hassan al-Banna tidak ditahan dan beliau cuba sedaya upaya menyelamatkan Ikhwan. Malangnya usaha beliau belum berhasil sehinggalah ditembak pada waktu Zohor 12 Februari 1949, ketika keluar dari bangunan Ikhwan Muslimin. Beliau menghembuskan nafas terakhir di hospital dan pembunuhan beliau didakwa dirancang oleh polis rahsia kerajaan berikutan kematian perdana menteri yang dibunuh oleh seorang pelajar yang kecewa dengan pembubaran Ikhwan Muslimin.

Jenazah al-Imam Hassan Al-Banna telah dikebumikan dengan kawalan kereta-kereta kebal dan perisai. Orang ramai tidak dibenarkan menghadiri upacara pengebumiannya, yang hadir hanya keluarganya sendiri.

Hasan al-Banna dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1906 di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir. Pada usia 12 tahun, Hasan al-Banna telah menghafal separuh isi al-Qur’an. Ia adalah seorang mujahid dakwah, peletak dasar-dasar gerakan Islam sekaligus sebagai pendiri dan pimpinan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin).

Ia memperjuangkan Islam menurut visinya hingga dibunuh oleh penembak misterius yang oleh banyak kalangan diyakini sebagai penembak ‘titipan’ pemerintah pada 12 Februari 1949 di Kairo.

Kepergian Hasan al-Banna pun menjadi duka berkepanjangan bagi umat Islam. Ia mewariskan 2 karya monumentalnya, yaitu Catatan Harian Dakwah dan Da’i serta Kumpulan Surat-surat. Selain itu Hasan al-Banna mewariskan semangat dan teladan dakwah bagi seluruh aktivis dakwah saat ini.

From Wikipedia

Read Full Post »

Sayyid Quthb 1903 – 1966

Tidak lama setelah penembakan terhadap Hasan Al-Bana, terjadilah penangkapan besar-besaran terhadap anggota Ihwanul Muslimin oleh regim Nasser, yang beliau waktu itu menjawat tugas Perdana Menteri dan Ketua Dewan Revolusi Mesir. Anggota Ikhwanul Muslimin yang ditangkap ketika itu sebanyak 10,000 (sepuluh ribu) anggota dan seluruhnya dimasukkan ke dalam penjara, termasuk mereka yang berjasa dalam perang melawan Inggeris di Suez.

Baru 20 hari sejak penangkapan besar-besaran itu, terdapat 1,000 orang tahanan anggota Ikhwanul Muslimin yang mati akibat seksaan dan penganiayaan. Dan 6 (enam) orang yang dijatuhi hukuman mati.

Di antara anggota-anggota Ikhwanul Muslimin yang ditahan dalam penjara itu adalah Hakim Dr. Abdul Qadir Audah, Muhammad Faraghali, dan Sayyid Quthub. Para tahanan itu tidak sedikit yang dijatuhi hukuman penjara antara 15 tahun sampai seumur hidup, dan juga hukuman mati, dan kerja paksa memotong dan memecah batu-batu di gunung-gunang. Mereka yang membangkang mogok tidak mahu kerja paksa kemudian ditembak. Pernah kejadian yang mogok itu ditembak sekaligus 22 orang dalam penjara mereka. Kejadian itu pada tahun 1977.

Adapun Sayyid Quthub, beliau pernah dihebahkan oleh pihak lnggeris, barangsiapa yang dapat menangkapnya akan mendapat hadiah 2000 Pound Sterling.

Sayyid Quthub ini lahir pada tahun 1903 di Musha, sebuah kota kecil di Asyut, Mesir. Beliau telah hafal Al-Quran 30 Juz sejak masih anak-anak, meraih gelaran sarjana dalam tahun 1933 dari Universitas Cairo, kemudian bekerja pada Kementerian Pendidikan. Kementerian Pendidikan kemudiannya mengirim beliau untuk belajar di Amerika Syarikat selama dua tahun.

Sepulang dari Amerika Syarikat beliau ke Inggeris, Swiss, dan Itali. Sepulangnya dari luar negeri beliau kemudian menyatakan keyakinannya bahawa Mesir harus membebaskan diri dari kebudayaan asing yang negatif dan merosak keperibadian Islam serta ketimuran itu.

Beliau adalah seorang penyair dan sasterawan yang hasil karyanya diperhatikan orang. Pada tahun 1946 beliau menulis buku berjudul “Al-’Adalatul Ijtima’iyah Fil Islam” (Keadilan Sosial Di Dalam Islam). Buku ini amat popular dan cemerlang sehingga menjadikan beliau termasyhur. Apalagi setelah buku ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, beliau benar-benar seorang tokoh yang berwawasan. Terutama buku ini sebagai jawapan dari sikap Nasser yang mengumandangkan Sosialisme Arab itu.

Sebenarnya Sayyid Quthub ditahan jauh sebelum peristiwa “Sandiwara Penentangan” terhadap Nasser pada tanggal 26 Oktober 1954, iaitu dua hari setelah Ikhwanul Muslimin dilarang oleh Nasser. Adapun kesalahan beliau yang paling banyak ialah kerana beliau mengarang dan menulis beberapa buku yang bersifat semangat Islam. Selain “Keadilan Sosial Dalam Islam,” juga buku “Mu’alimut Thar” (Tonggak-tonggak Jalan) yang isinya menolak kebudayaan jahiliyah moden dalam segala bentuk dan praktiknya.

Kekejaman terhadap para tahanan dan terhadap beliau dari penguasa mesir tak terkira. Melebihi Nazi Jerman. Hal ini telah diungkapkan oleh para bekas tahanan yang kemudian selamat kembali kepada keluarga mereka. Mereka banyak berkisah tentang kekejaman penguasa zaman Raja Farouk mahupun oleh Pemerintah Nasser. Ramai para bekas tahanan itu yang bercerita sambil bercucuran air mata bila teringat kawan-kawannya yang mati diseksa dan dibantai di hadapan mata kepala mereka sendiri. Hukuman cambuk, cucian otak dengan alat-alat elektronik sehingga para korban menjadi hilang akal, dan sebagainya. Bermacam-macam tuduhan yang dilontarkan. Tuduhan palsu, fitnah yang dibuat-buat, yang kesemuanya itu tidak ada kesempatan bagi para anggota Ikhwan untuk membela diri. Mereka tetap mengatakan Ikhwanul Muslimin salah, mengkhianati negara dan bangsa, dan sebagainya serta tuduhan-tuduhan yang tidak masuk akal.

Adik Sayyid Quthub yang bernama Muhammad Quthub meninggal dalam penjara. Dan Sayyid Quthub sendiri dibebaskan oleh penguasa pada tahun 1964 atas usaha Presiden lrak, Abdus Salam Aref almarhum. Selepas dari tahanan ini keluarlah buku beliau berjudul “Tonggak-tonggak Islam,” sehingga pada bulan Ogos 1965 beliau ditangkap dan ditahan lagi bersama 46,000 (empat puluh enam ribu) anggota Ikhwanul Muslimin.

Dalam pengadilan beliau berkata, “Aku tahu bahawa kali ini yang dikehendaki oleh pemerintah (Nasser) adalah kepalaku. Sama sekali aku tidak menyesali kematianku, sebaliknya aku berbahagia kerana mati demi cinta. Tinggal sejarah yang memutuskan, siapakah yang benar, Ikhwan ataukah regim ini.

Ketika beliau di mahkamah pada tahun 1954 juga berkata: “Apabila tuan-tuan menghendaki kepada saya, inilah aku dengan kepalaku di atas tapak tanganku sendiri!”

Pada bulan Ogos 1966 Mahkamah Tentera menjatuhkan hukuman gantung kepada tokoh Ikhwanul Muslimin termasuk beliau. Dengan sebuah senyum pada hari Isnin, di waktu fajar menyingsing tanggal 29 Ogos 1966, beliau meninggal dunia di tiang gantung sebagai jalan untuk menemui Allah! Selama dalam masa penahanan, beliau menulis kitab tafsir Al-Qur’an yang sangat populer (Fi Zilalil Qur’an) yang saat ini banyak dijadikan kitab referensi dalam berbagai kajian Islam.

Demikianlah hukum yang terjadi di dunia ini, yang benar belum tentu menang dan yang salah belum tentu kalah. Namun pada umumnya yang berkuasa itulah yang dibenar-benarkan, kerana pihak yang tidak mendapat kesempatan untuk berbicara kerana bukan penguasa, walau tidak kuasa berkata bahawa dirinya benar. Dan Nasser merasa dirinya di pihak yang benar sehingga Ikhwanul Muslimin dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan negara. Padahal setiap Mesir ditimpa bahaya, penguasa selalu minta tolong kepada para anggota Ikhwanul Muslimin untuk tampil ke depan membela tanah air, tetapi setelah keadaan aman, Ikhwanul Muslimin dijauhkan dari kebenaran, diketepikan, dianggap sebagai organisasi yang najis dan ekstrim.

Demikianlah nasib para pejuang dalam membela kebenaran, bahawa risiko yang dihadapinya tidak sedikit dan bahkan sering membawa korban, diseksa, dianiaya dan demikian itulah cara Allah untuk mengetahui keimanan dan ketakwaan seseorang. Dengan demikian, jelaslah bahawa siapa saja yang tidak mahu berjuang untuk membela kebenaran adalah orang yang lemah mentalnya, dan akan mendapat seksa di akhirat nanti.
sumber : Daarut Tauhiid (aharis)

Read Full Post »

Syeikh Albani 1914-1999

Siapakah Syeikh Albani?

Rabu, 29 Nov 06 08:19 WIB

Mohon penjelasan Ustaz tentang Syeikh Albani, sebab ada ulama yang menyebutkan beliau sebagai “syeikh kontoversial”, “orang yang suka membuat hadist” terutama mengenai buku “Sifat Solat Nabi” halaman 158-159 tentang hadist tahyat menggerak-gerakkan jari telunjuk.

Khoiril Anwar
khoiril_anwar at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Syaikh Nashiruddin Al-Albani adalah salah satu tokoh yang pernah hidup di abad 20 sebagai ulama yang mendalami masalah kritik sanad hadits. Menjadi tenar -salah satunya- karena pendapat-pendapat beliau yang cenderung berbeda dari kebanyakan pendapat yang sudah dianut oleh umat Islam, baik di bidang ilmu hadits atau pun di bidang fiqih.

Salah satunya adalah pandangan beliau yang mengajak orang untuk tidak terpaku kepada pandangan dari mazhab-mazhab fiqih peninggalan para ulama. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu asing, karena sudah banyak dikampanyekan oleh para tokoh sebelumnya seperti Muhammad Abduh atau Rasyid Ridha. Namun beliau menyampaikan dengan format yang berbeda dan lebih spesifik serta didukung oleh keahlian beliau di bidang kritik sanad hadits.

Kelahiran di Albania dan Hijrah ke Damaskus

Syeikh Nashiruddin Al-Albani lahir tahun 1914 masehi atau bertepatan dengan tahun 1333 hijriyah, di ibukota Albania saat itu, Asyqodar.

Keluarga beliau boleh dibilang termasuk kalangan kurang berada, namun bertradisi kuat dalam menuntut ilmu agama. Ayahanda beliau bernama Al-Haj Nuh, lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari’ah di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul) dan menjadi rujukan orang-orang dalam masalah agama.

Keluarga beliau kemudian berhijrah ke Damaskus, ibu kota Syria, dan menetap di sana setelah Ahmad Zaghu raja Albania saat itu menyimpangkan negaranya menjadi kebarat-baratan.

Pendidikan Agama

Beliau boleh dibilang tidak menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah ibtidaiyah dengan baik. Kemudian beliau meneruskan ke madarasah An-Nizhamiyah yang sangat fenomenal di dunia Islam. Namun setelah itu ayahnya punya pendapat tersendiri tentang madrasah An-Nizamiyah sehingga beliau keluar dan belajar dengan sistem tersendiri pelajarannya, seperti Quran, tajwid, nahwu, sharf serta fiqih mazhab Hanafi.

Beliau mengkhatamkan Al-Quran di tangan ayahnya sendiri dengan bacaan riwayat Hafsh dari Ashim. Beliau belajar kitab fiqih mazhab Al-Hanafi yaitu Maraqi al-Falah kepada Syeikh Said Al-Burhani, selain juga belajar lughah dan balaghah.

Secara pendapatan finansial, beliau bekerja sebagai tukang jam, sebuah keahlian yang diwariskannya dari ayahnya sendiri. Bahkan beliau sampai menjadi termasyhur di bidang service jam di Damaskus.

Sesungguhnya ayah beliau telah mengarahkan beliau untuk mendalami agama khususnya pada mazhab Al-Hanafi serta memperingatkan beliau untuk tidak terlalu menekuni ilmu hadits. Namun beliau tetap belajar ilmu hadits dan ilmu-ilmu lainnya yang menunjang. Sehingga paling tidak beliau menghabiskan 20 tahun dari hidupnya dalam mempelajari ilmu hadits, karena pengaruh dari bacaan beliau pada majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Syaikh Rasyid Ridha rahimahullah.

Mendalami Ilmu Hadits di Perpustakaan

Beliau menyenangi ilmu hadits dan semakin asyik dengan penelusuran kitab-kitab hadits. Sampai pihak pengelola perpustakaan adz-Dzhahiriyah di Damaskus memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau.

Bahkan kemudian beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.

Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan azh-Zhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.
Kontroversi Tentang Sosok Beliau

Syeikh Nashiruddin Al-Albani oleh beberapa kalangan sangat dihormati sebagai ulama yang setuju dengan pandangan-pandangannya, namun memang ada juga sebagian lainnya yang kurang suka kepada pendapatnya serta cara penyampaiannya yang khas.

Mereka yang gemar dengan pendapat beliau umumnya adalah kalangan muda yang getol mempelajari ilmu hadits. Namun kurang dalam mempelajari ilmu fiqih serta perangkat-perangkatnya. Paling tidak, sistematika fiqih yang beliau kembangkan beliau tidak sebagaimana umumnya sistematika ilmu fiqih yang digunakan oleh para ahli fiqih umumnya.

Misalnya buat beliau, kesimpulan hukum suatu masalah lebih sering ditetapkan semata-mata berdasarkan kekuatan riwayat suatu hadits. Sedangkan pertimbangan lainnya sebagaimana yang ada di dalam ilmu fiqih, termasuk pendapat para imam mazhab, seringkali ditepis oleh beliau.

Ketidak-sukaan sebagian orang kepada beliau biasanya dilatar-belakangi oleh kekurang-mengertian mereka kepada sosok beliau. Sehingga melahirkan pandangan yang kurang baik pada citra diri beliau. Bahkan beliau pernah mengalami dua kali dipenjara, yang konon disebabkan oleh masalah seperti ini.

Memang terkadang bahasa yang beliau gunakan boleh dibilang agak terbuka dan terlalu apa adanya. Sehingga membuat telinga sebagian orang yang membacanya dan kebetulan kena sindir beliau menjadi merah telinganya.

Selain itu beliau memang dikenal sebagai tokoh di bidang ilmu hadits yang cenderung tidak mau berpegang kepada pendapat-pendapat dari mazhab-mazhab fiqih yang ada. Kesan itu akan sangat terasa menyengat bila kita banyak mengkaji ceramah dan tulisan beliau, terutama yang menyangkut kajian fiqih para ulama mazhab.

Bagi beliau, pendapat para ulama mazhab harus ditinggalkan bila bertentangan dengan apa yang beliau yakini sebagai hasil ijtihad beliau dari hadits-hadits shahih. Apalagi bila menurut beliau, pendapat para ulama mazhab itu tidak didasari oleh riwayat hadits yang kuat sanadnya.

Bahkan beliau mudah menjatuhkan vonis ahli bid’ah kepada siapa saja yang menurut beliau telah berdalil dengan hadits yang lemah. Maksudnya lemah di sini adalah lemahmenurut hasil penelitian beliau sendiri. Termasuk juga pada masalah-masalah yang umumnya dianggap sudah final di kalangan para ahli fiqih. Buat beliau, semua itu harus diabaikan, bila berbeda dengan pandangan beliau dengan landasan ijtihad beliau di bidang ilmu hadits.

Barangkali hal-hal inilah yang sering menimbulkan pandangan tertentu di kalangan sebagian orang tentang sosok beliau.

Namun apa yang beliau sampaikan itu sebenarnya bukan sekedar omongan belaka, namun berangkat dari hasil ijtihad beliau pribadi. Dengan kapasitas ilmu hadits yang beliau miliki serta banyaknya beliau membaca di perpustakaan, maka apa yang menjadi pendapat beliau punya landasan ilmiyah, bukan asal bunyi.

Namun sebagaimana tradisi keilmuwan di dalam peradaban Islam, boleh saja para ulama saling berbeda pandangan satu dengan yang lainnya, namun kita diharamkan untuk saling ejek, saling cemooh, saling cela dan saling boikot, hanya lantaran perbedaan pandangan.

Apa yang menjadi pandangan Albani harus dihormati sebagai sebuah hasil ijtihad seorang yang telah menguasai satu cabang ilmu. Tentunya beliau berhak atas pendapatnya. Namun ijtihad yang dihasilkan oleh seorang ulama tidaklah harus menggugurkan ijtihad ulama lain yang juga telah mengerahkan semua kemampuannya. Biarlah hasil-hasil ijtihad saling berbeda, sehingga memberikan ruang gerak yang luas kepada umat Islam ini.

Beberapa Tugas yang Pernah Diemban

Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar hadits dan ilmu-ilmu hadits di Universitas Islam Madinah meski tidak lama, hanya sekitar tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H.

Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu.

Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam’iyah Islamiyah di sana. Mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.

Wafat Beliau dan Warisannya

Beliau wafat pada hari Jum’at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania. Karya-karya beliau amat banyak yang menjadi warisan kepada dunia Islam, sebagian sudah dicetak, namun ada yang masih berupa manuskrip, bahkan ada yang hilang, semua berjumlah 218 judul. Antara lain:

  1. Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
  2. Al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘ala as’ilah masjid al-Jami’ah
  3. Silisilah al-Ahadits ash-Shahihah
  4. Silisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah
  5. At-Tawasul wa anwa’uhu
  6. Ahkam Al-Jana’iz wabida’uha

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Read Full Post »

Buruk Sangka Kepada Allah..?

Berburuk sangka kepada Allah merupakan bukti kelemahan iman dan bodohnya seseorang terhadap hak Allah serta tidak memberi pengagungan kepadaNya dengan sebaik-baik pengagungan. Sebagian orang menyangka Allah sebagaimana menyangka makhluk, bahwa Allah tidak mampu mengabulkan segala keinginannya sehingga dia tidak memohon kepada Allah kecuali sedikit sekali. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka sangka.

Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata : “Jadilah”, maka terjadilan. Dia Maha Mulia memberi segala sesuatu kepada semua hambaNya hingga kepada hamba yang durhaka sekalipun. Sebaiknya seseorang harus berbaik sangka kepada Allah dan memohon kepadaNya segala sesuatu serta jangan menganggap ada sesuatu yang sulit bagi Allah. Allah Maha Kuasa mengabulkan permohonan hambaNya.

Sebuah hadits dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Allah berfirman Wahai hambaKu seandainya orang terdahulu dan sekarang baik dari jin maupun manusia berkumpul di suatu tempat, kemudian mereka semua memohon kepadaKu dan Aku kabulkan seluruh permohonan mereka, maka demikian itu tidak mengurangi sama sekali perbendaharaanKu melainkan seperti berkurangnya air laut tatkala jarum dicelupkan kedalamnya” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-bir bab Tahrim Zhulm 8/16-17]

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Berharaplah yang banyak sesungguhnya kamu akan meminta kepada Tuhanmu” [Syarhus Sunnah oleh Imam Al-Baghawi 5/208 no. 1403. Al-Haitsami dalam Majmu Zawaid. Thabrani dalam Al-Ausath 10/150]

Imam Al-Baghawi Rahimahullah berkata bahwa maksudnya adalah berharap dalam hal yang mubah baik tentang urusan dunia atau akhirat. Hendaknya setiap keluhan, permohonan dan harapan diajukan kepada Allah sebagaimana firmanNya.

“Artinya : Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya” [An-Nisa : 32]

Bukan berarti kita boleh berharap mendapatkan harta atau nikmat orang lain dengan unsur hasad dan dengki. Jelas ini dilarang Allah, seperti firman Allah.

“Artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain” [An-Nisa : 32]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Jika kalian berdo’a perbanyaklah keinginannya, sebab Allah tidak menganggap besar terhadap pemberianNya” [Hadits Riwayat Imam Ahmad 2/475. Imam Thabrani dalam kitab Do’a]

Hadits diatas menurut Al-Banna dalam kitab Fathur Rabbani bahwa setiap orang yang berdo’a harus disertai dengan permohonan yang sungguh-sungguh dan mengiba atau memohon sesuatu yang banyak lagi besar berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebab Allah tidak menganggap besar terhadap pemerianNya”. Artinya sebesar apapun Allah pasti akan mengabulkanya. [Fathur Rabbani 14/274]

[Disalin dari buku Jahalatun Nas Fid Du’a edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdo’a hal. 14-17 Darul Haq] oleh :Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih

Read Full Post »

Poligami Ali bin Abi Thalib

Mengapa Rasulullah Melarang Puterinya Dipoligami?

Jumat, 8 Des 06 09:39 WIB

Assalamualaikum wr. wb.

Pak Ustadz,

Baru-baru ini poligami menjadi sorotan, ada yang pro dan kontra, namun saya pernah mendengar ada hadits yang Rasululah sendiri melarang anaknya (Fatimah), di-poligami, padahal Rasulullah sendiri berpoligami. Sepertinya bertentangan, mengapa demikian? Bagaimanakah yang benar?

Yang kedua, haruskah pria yang mau poligami meminta izin isteri pertamanya? Kalau ya, dan isterinya tidak mengizinkan, bagaimana, apakah harus tetap poligami?

Mohon penjelasan dari pak ustadz.

Wass. wr. wb.

Bondan Pamungkas
bondan_73 at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kita harus membedakan antara hukum yang membolehkan poligami dengan sikap atas suatu keadaan yang bersifat subjektif.

Secara hukumnya, poligami itu dibolehkan. Seratus persen halal dan langsung ditetapkan oleh Al-Quran sendiri. Tidak boleh ada mengubah ayat tersebut selama-lamanya, kecuali dia kafir kepada Allah SWT.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’: 3)

Ayat di atas sangat tegas dan jelas menggambarkan kehalalan dan kebolehan perpoligami, tentunya dengan syarat-syaratnya.

Namun tindakan Rasulullah SAW yang meminta kepada menantunya, Ali bin Abi Thalib ra. untuk tidak mempoligami anaknya, sama sekali tidak bertentangan dengan ayat tentang poligami di atas. Permintaan beliau bersifat sangat manusiawi.

Harus kita ingat bahwa selain sebagai pembawa risalah, Muhammad SAW juga seorang manusia, yang punya isteri, anak, menantu serta teman. Hubungan yang bersifat pribadi antara beliau SAW dengan Ali bin Abu Thalib sangat dekat. Karena Ali ra. sejak kecil diasuh dan tinggal di rumah beliau SAW. Sehingga posisinya sudah seperti anak sendiri. Dan Rasulullah SAW sendiri sejak kecil tinggal dan diasuh oleh ayahnya Ali ra, maka lengkaplah kedekatan dan kemesraan antara keduanya.

Hubungan mereka melewati batas-batas hubungan formal antara seorang nabi dan umatnya, mereka ibarat ayah dan anak, kakak dan adik seppupu, teman dekat, bahkan sahabat.

Tidak jarang Rasulullah SAW ikut campur dalam urusan keluarga Ali ra. dan Fatimah ra. Misalnya, suatu ketika Fatimah ra. meminta kepada beliau SAW untuk diberikan pembantu rumah tangga, namun beliau menolaknya. Bagi Ali ra, penolakan nabi SAW itu tidak pernah membuatnya tersinggung, sebab baginya Rasulullah SAW terlalu dekat.

Namun secara manusiawi juga, terkadang Ali bin Abu Thalib ra. merasa kikuk dengan posisi sebagai teman dan sekaligus mertua. Sampai-sampai ketika bertanya dengan keadaaannya yang mudah keluar mazi, justru beliau minta shahabat lain bertanya kepada Rasulullah SAW.

Kedekatan Ali ra. dengan Rasulullah SAW ini sangat istimewa, tidak dimiliki oleh para shahabat lainnya. Sebab selain hubungan mertua menantu, mereka berdua adalah sepupu yang masing-masing pernah tinggal dan dibesarkan dalam satu rumah.

Saking dekatnya ayah Ali, yaitu Abu Thalib dengan diri Muhammad SAW, sampai-sampai dia punya kursi khusus yang tidak boleh seorang anaknya untuk mendudukinya, kecuali Muhammad SAW. Sedemikian istimewanya kedudukan beliau SAW di mata Abu Thalib dan anaknya.

Maka ketika Ali ra. menikahi puteri Rasululah SAW, Fatimah ra, hubungan mereka sangat dekat dan mesra. Bagi Ali ra, mertuanya itu sudah seperti ayahnya sendiri, teman sendiri dan tempat curhat. Demikian juga dengan Rasulullah SAW, baginya Ali bin Abi Thalib ra. lebih dari sekedar menantu, tetapi teman baik, shahabat, tempat curhat serta seperti anak kandung sendiri.

Maka amat wajar dan manusiawi ketika Rasulullah SAW menginginkan agar Ali bin Thalib tidak mengawini wanita lain selain puterinya, paling tidak selama beliau SAW hidup. Permintaan ini berlaku sangat khusus hanya antara mereka berdua saja. Tidak bisa dijadikan dasar hukum yang umum hingga seolah poligami dilarang di dalam Islam.

Kalau memang benar poligami dilarang dalam Islam, seharusnya permintaan untuk tidak menikahi dua wanita atau lebih bukan hanya ditujukan kepada Ali ra. seorang, tetapi kepada semua shahabat nabi SAW. Padahal begitu shahabat nabi SAW yang melakukan poligami. Jumlahnya tidak terhitung. Bahkan diri beliau SAW melakukan poligami.

As-Sayyid bin Abdul Aziz As Sa’dani mengatakan bahwa sesungguhnya hadits atau hukum larangan poligami ini khusus untuk putri Rasulullah SAW. Dan bahwasannya ia tidak akan berkumpul dengan putri musuh Allah. Oleh karena itu, putri Rasulullah tidak akan bersatu bersama putri musuh Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Munayyir Al-Iskandari, “Ini termasuk dalam wanita wanita yang diharamkan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya aku khawatir mereka akan menfitnah putriku.” Kalau Ali bin Abu Thalib menikah dengan selain putri Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, niscaya Nabi tidak akan mengingkarinya…

Maka argumentasi haramnya poligami hanya berdasarkan karena Rasulullah SAW melarang Ali bin Abi Thalib menikahi Juwairiyah setelah beristrikan Fatimah ra. adalah argumentasi yang kurang tepat. Mungkin mereka yang mengatakannya terbawa nafsu dan kurang memahami hakikat dan realita sirah nabawiyah yang sesungguhnya. Juga kurang mengenal metode istimbath hukum fiqih yang baku.

Cukup dengan melihat siapa saja yang berargumentasi demikian, kita akan tahu kebanyakannya bukan ahli syariah. Sehingga tidak berhak untuk secara serampangan melakukan istimbat hukum syariah. Sesungguhnya hukum tentang poligami hanya tepat disimpulkan oleh mereka yang punya kapasitas dalam ilmu syariah. Tanpa penguasaan yang benar terhadap ilmu syariah, maka hasilnya tidak pernah bisa dipertanggung-jawabkan.

Izin Dari Isteri

Secara hukum sah pernikahan, tidak ada ketentuan untuk menikah lagi harus mendapatkan izin dari isteri pertama. Jadi poligami yang dilakukan seorang suami tanpa izin isterinya, tidaklah membuat poligami itu tidak sah secara hukum.

Namun sesuatu yang bukan syarat sah, tidak berarti harus ditinggalkan. Misalnya, syarat sah shalat itu menutup aurat. Dan aurat laki-laki itu ‘hanya’ antara pusat dan lutut saja. Seandainya seseorang shalat hanya menggunakan celana kolor yang menutupi lutut hingga pusat, maka secara hukum tetap sah. Tetapi secara kelayakan umum dan etika, rasanya sulit diterima. Apalagi orang ini menjadi imam shalat di masjid dan berkhutbah sambil telanjang dada, wah rasanya agak aneh. Tetapi kalau kita bicara hukumnya, tetap saja sah.

Demikian juga dengan izin dari isteri untuk poligami, tidak ada hak siapapun yang mengharuskan suami mengantungi izin isteri untuk menikah lagi. Namun sebagai suami yang baik, alangkah baiknya bila jauh hari sebelum berpoligami, dia sudah menyiapkan mental isterinya, sehingga tidak jatuh terkaget-kaget ketika mendengarnya.

Bukankah Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ

Dari Ummul Mu’minin Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,” Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian kepada isteriku.” (HR At-tirmizy)

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Read Full Post »

Iqob/Denda

Hukumnya Iqob (Denda) dengan Uang

Rabu, 6 Des 06 07:33 WIB

Assalamu’alaikum wr. wb.

Ustadz yang dirahmati Allah SWT, sebelumnya saya tanya lagi nih walupun beberapa pertanyaan saya yang waktu itu belum sempat terjawab. Ustadz, bagaimana hukumnya jika denda/iqob itu menggunakan uang, karena saya pernah baca artikel yang dijawab juga oleh ustadz mengatakan bahwa hukumnya sama dengan judi karena ada pihak yang dirugikan jika menggunakan iqob seperti itu.

Mohon penjelasan lebih mendalam lagi karena pada saat ini banyak saudara-saudara kita yang masih mempraktekan hal tersebut. Syukron.

Wassalmu’alaikum,

Nugraha
nugraha at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Di antara syarat sebuah perjudian adalah adanya pertaruhan harta antara dua belah pihak atau lebih, baik dengan cara undian atau pun sesuatu yang dilombakan, lalu yang menang akan mengambil harta dari pihak yang kalah, sedangkan yang kalah akan kehilangan uangnya.

Syarat-syarat ini kalau sampai terpenuhi pada suatu kesepakatan, meski niat dan motivasinya baik, tetapi hukumnya terlarang, karena mengandung unsur judi. Meski pun masing-masing pihak bersikap sama-sama rela dan ridha.

Misalnya, dua orang jamaah masjid bertaruh, siapa yang paling dahulu masuk ke masjid untuk shalat Shubuh, maka dia berhak atas Rp 10.000 dari harta temannya yang kalah. Meski diterapkan dalam kebaikan, namun transaksi ini pada hakikatnya adalah sebuah perjudian. Kebaikan yang dimaksud adalah agar kedua anak itu berlomba rajin ke masjid di waktu shubuh. Tapi judinya adalah pertaruhan harta antara keduanya, di mana harta itu bersumber dari mereka.

Pengecualian

  1. Seandainya hadiah harta itu bukan dari keduanya, tapi hanya dari satu orang di antara mereka, hukumnya bukan judi. Juga seandainya harta hadiah itu berasal dari orang lain yang tidak ikut lomba, maka unsur judinya akan hilang. Yang membuatnya menjadi judi adalah bisa sumber hadiah itu berasal dari masing-masing mereka.
  2. Yang juga akan membuat transaksi itu keluar dari kriteria perjudian adalah seandainya yang dijadikan pertaruhan itu bukan harta, tetapi bentuk lainnya. Misalnya, siapa yang terlambat masuk ke kelas, maka dihukum melakukan push-up, atau berdiri di depan kelas, atau menghafal juz amma.

Dalam kasus yang anda tanyakan, meski uangnya tidak diletakkan di meja judi, tetapi statusnya tetap sedang dipertaruhkan. Karena sesungguhnya setiap anggota sudah harus menyiapkan uang juga, meski masih di dalam dompetnya. Bila yang bersangkutan melanggar peraturan, katakanlah terlambat datang pada waktunya, dia harus mengeluarkan uang dari dompetnya. Dalam kesepakatan ini unsur pertaruhan sudah ada, yaitu pertaruhan uang sebesar Rp 10.000.

Tinggal satu unsur lagi, yaitu untuk siapakah yang berhak atas uang itu. Bila uang itu menjadi hak para anggota lainnya, maka sempurnalah semua syarat perjudiannnya. Misalnya uang denda dari yang melanggar itu dibagi-bagi kepada anggota lainnya, baik dengan cara dimasukkan uang kas, atau untuk membeli makanan atau lainnya.

Tapi kalau uang denda itu tidak dibagi-bagi kepada anggota lainnya, maka hukumnya khilaf. Misalnya, uang itu dibagikan kepada fakir miskin atau anak yatim atau siapa pun, apakah termasuk judi atau sedekah yang dipaksakan?

Jadi bedanya, bila uang itu dimakan oleh yang menang, maka hukumnya judi. Tapi kalau uang itu bukan untuk pihak yang menang, tapi untuk hal lainnya di luar orang-orang yang ada dalam kelompok itu, maka bukan judi.

Mungkin ada yang mengatakan bahwa aturan denda ini beda dengan judi, karena tidak ada orang yang menang dan yang kalah.

Hal itu dijawab dengan argumentasi bahwa pada hakikatnya tetap ada pihak yang menang dan yang kalah. Bedanya, dalam judi umumnya pemenangnya satu dan yang kalah banyak. Sedangkan dalam ‘judi’ yang anda tanyakan, yang menang banyak dan yang kalau hanya satu. Tetapi intinya sama saja, ada uang yang dipertaruhkan dari mereka untuk mereka, lalu ada yang menang dan yang kalah.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Read Full Post »

Wakaf

Menghajikan Almarhum Ayah dan Wakaf Tunai

Kamis, 7 Des 06 07:32 WIB

Assalaamualaikum Pak Ustaz,

Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri sebuah pertemuan di mana di dalamnya dibagi-bagikan undangan untuk memberikan wakaf tunai. Salah satu yang membuat saya tertarik adalah juga dikomunikasikannya bahwa saya bisa memberikan wakaf tunai untuk Ibu saya yang sudah meninggal. Saya mohon bantuan Pak Ustaz untuk menjelaskan ini dari sudut pandang syariat Islam.

Senapas dengan pertanyaan di atas, bisakah anak juga menghajikan almarhum ayahnya? Alhamdulillah saya sendiri sudah pergi haji, juga alhamdulillah saya berkesempatan menghajikan Ibu ketika beliau masih hidup.

Selama ini saya memahami bahwa hanya orang yang masih hiduplah yang masih punya kesempatan untuk beramal. Sedangkan mereka yang sudah wafat tidak mempunyai kesempatan beramal lagi, walaupun bisa mendapatkan pahala dari amal jariah yang dulu mereka tunaikan, ilmu yang bermanfaat yang dulu mereka amalkan, dan doa dari anak-anak mereka yang saleh.

Mohon penjelasan Pak Ustaz. Semoga Allah membalas amal kebaikan Pak Ustaz. Terima kasih.

Jalan Lurus
jalanlurus at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebelumnya kami akan jelaskan dulu dengan masalah wakaf dan variannya, wakaf tunai. Setelah itu akan kami jelaskan tentang masalah wakaf untuk orang yang sudah wafat serta perdebatan antara yang mengatakan bahwa pahala untuk mayat bisa diterima dari orang yang masih hidup.

1. Wakaf dan Wakaf Tunai

Secara bahasa wakaf bermakna berhenti atau berdiri (waqafa/yaqifu/waqfan). Sedangkan dalam makna secara syari’ah adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (‘ain-nya) dan digunakan untuk kebaikan.

Kalau kita memberi uang 100 juta kepada seorang miskin, maka kita akan dapat pahala sekali saja saat itu. Tapi kalau kita mengeluarkan uang itu untuk membangun kost-kostan, lalu hasil usaha itu secara rutin kita berikan kepada orang miskin, maka kita juga akan dapat pahala secara rutin.

Maka harta yang diwakafkan itu terbatas pada barang-barang yang tidak habis dipakai, baik berupa tanah, sekolah, madrasah, bangunan masjid dan lainnya. Pendeknya segala bentuk harta tidak langsung musnah ketika diambil manfaatnya, barang tersebut dapat diwakafkan.

Dan sesuai dengan hal itu, maka di masa kini kita mengenal istilah wakaf dalam bentuk uang tunai. Bentuk dan mekanismenya bisa bermacam-macam, antara lain:

a. Wakaf tunai dengan tujuan membeli benda yang bermanfaat

Bentuknya adalah seseorang mengeluarkan uang untuk membeli benda-benda yang bermanfaat, namun benda yang tidak langsung habis. Lalu benda yang bermanfaat itu dimanfaatkan oleh banyak orang. Tentunya manfaat itu melahirkan pahala yang akan diberikan kepada pihak yang berwakaf.

Misalnya, kepada orang-orang ditawarkan surat tanah/sertifikat tanah wakaf yang besarannya seluas 1 meter persegi dengan harga Rp 100.000,-. Sertifikat ini jumlahnya banyak, mungkin sampai puluhan ribu lembar. Masyarakat lalu ditawarkan untuk membelinya mulai dari 1 lembar sampai ribuan lembar.

Mereka yang membeli lembaran ini terhitung sudah berwakaf atas tanah, yang mungkin di atasnya didirikan masjid, perpustakaan, kampus, rumah yatim atau apapun yang mendatangkan manfaat.

Bahkan mungkin saja untuk dibangun di atasnya pabrik atau pusat usaha, di mana hasilnya akan diberikan untuk membantu fakir miskin. atau untuk kepentingan pendidikan, penyediaan lapangan kerja dan sebagainya.

b. Wakaf tunai dalam bentuk uang yang dipinjamkan

Bentuk kedua adalah wakaf dalam bentuk uang tunai untuk dipinjamkan kepada proyek-proyek amal. Sering diistilah dengan temporary wakaf deposits in loan basic.

Bentuknya, orang yang berwakaf membayar sejumlah uang untuk dipinjamkan kepada pihak yang membutuhkan, dengan kewajiban untuk mengembalikannya sesuai dengan jatuh temponya, tentunya tanpa bunga sedikit pun.

Misalnya, uang itu untuk modal membangun sekolah, lalu diperhitungkan bahwa akan ada pemasukan dari bayaran sekolah. Nantinya, uang itu dikembalikan lagi kepada pewakaf atau pengelola wakaf untuk bisa digunakan lagi untuk dipinjamkan kepada pihak lain yang membutuhkan. Dan begitu seterusnya.

Peminjaman ini tentunya melahirkan pahala yang dikirim kepada pihak yang memberi wakaf.

c. Wakaf Tunai dalam Bentuk Investasi

Bentuk ini mirip dengan di atas, namun pinjamannya untuk para pengusaha. Sering juga disebut temporary wakaf deposits in investment basic.

Bentuknya, pewakaf mengeluarkan uang lalu diinvestaskan dalam beragam jenis usaha halal. Keuntungan atau bagi hasil dari usaha yang rutin tiap bulan atau tiap tahun itulah yang dialokasikan untuk semua bentuk kebaikan, misalnya memberi makan orang miskin, bea siswa calon ulama, atau semua keperluan umat.

Dari semua dana yang dialokasikan dari hasil keuntungan itulah dilahirkan pahala yang terus menerus mengalir kepada pewakafnya.

2. Amal dan Pahala untuk yang Sudah Wafat

Rasulullah SAW benar ketika bersabda bahwa amal setiap anak Adam sudah terputus bila meninggal, kecuali tiga hal. Namun hadits itu tidak menafikan dimungkinkannya orang yang sudah meninggal mendapat manfaat dari amal orang lain yang masih hidup.

Maka adanya doa dari seorang anak, atau dari siapapun yang muslim, yang ditujukan demi kebaikan mayit di kuburnya, merupakan bukti bahwa meski amalnya sudah putus, namun pintu untuk mendapatkan manfaat dari orang yang masih hidup tidak pernah tertutup.

Diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra. bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW, “Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur?” Rasul SAW menjawab,”Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya -insya Allah- kami pasti menyusul).” (HR Muslim).

Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata,”Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau berdiri lalu bersabda, “Mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya.” (HR Abu Dawud)

Demikian juga shalat jenazah yang dilakukan oleh orang banyak, semuanya tidak lain demi memberi manfaat kepada mayit di dalam kuburnya. Kalau tidak ada manfaatnya, buat apa diperintahkan dan disyariatkan?

Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW – setelah selesai shalat jenazah bersabda,”Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka.” (HR Muslim).

Dan semua dalil tentang adanya badal haji dengan niat untuk orang yang sudah wafat, semakin menegaskan adanya manfaat buat mayit dari orang yang masih hidup. Termasuk dalil diperintahkannya puasa yang dilakukan seseorang untuk menutup hutang puasa orang tuanya.

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya, “Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya?” Rasul menjawab,”Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar.” (HR Bukhari)

Bahkan pelunasan hutang mayit oleh ahli warisnya, juga akan mendinginkan api di dalam kuburnya.

Abu Qotadah telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.” (HR Ahmad)

Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada di tempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk bertanya,”Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya?” Rasul SAW menjawab,”Ya.” Saad berkata,”Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya.” (HR Bukhari)

Semua dalil di atas akan menggiring kita kepada satu kesimpulan, bahwa meski seseorang sudah wafat, namun tidak pernah tertutup kemungkinan baginya untuk mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh mereka yang masih hidup. Asalkan orang itu punya iman dan terhitung sebagai muslim.

Pendapat yang Tidak Setuju

Memang ada ayat Quran yang bisa ditafsirkan bahwa seorang tidak akan menerima pahala dari orang lain. Sehingga ada kalangan yang berpendapat bahwa pahala tidak akan sampai kepada orang yang sudah mati.

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS. An-Najm:38-39)

Namun para ulama berbeda dalam memahaminya. Mereka mengatakan bahwa ayat ini tidak berarti menafikan kemungkinan seseorang mendapat manfaat dari usaha orang lain yang diberikan atas dasar kasih sayang dan cinta. Termasuk doa dari mereka yang masih hidup.

Ayat ini hanya mengingatkan bahwa janganlah terlalu berharap dari pertolongan orang lain, atau kiriman doa dan pahala dari orang yang masih hidup. Tetapi beribadahlah dengan sungguh-sungguh. Karena pertolongan dari orang lain belum tentu menjamin.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabaraktuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Read Full Post »