Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Muamalah’ Category

Murabahah

Murabahah seolah menggenapi “khazanah” praktik-praktik ribawi di sekitar kita. Sistem ini awalnya mengadopsi praktik jual beli yang sudah berlaku umum. Namun dengan memosisikan bank sebagai lembaga pembiayaan, praktik ini dan yang sejenis –seperti leasing- pun tak lepas dari jerat riba.

Di antara sistem akad jual beli yang cukup banyak ditemukan pada bank-bank adalah apa yang mereka sebut dengan istilah murabahah. Sistem transaksi ini sering dijumpai di bank-bank yang mengatasnamakan dirinya “Bank Islam.” Banyak kaum muslimin yang terlena dengan embel-embel Syariah atau nama-nama berbahasa Arab pada produk-roduknya, sehingga jarang di antara mereka yang memperhatikan atau mempertanyakan dengan seksama sistem transaksi yang terjadi.
Maka menerangkan masalah seperti ini dipandang lebih wajib daripada system-sistem riba yang berlaku di bank-bank konvensional, sebab amat sedikit kaum muslimin yang mengetahuinya.
Istilah tersebut di atas sesungguhnya telah ada dan diulas oleh para ahli fiqih sejak dahulu. Namun kini istilah tersebut dipakai untuk sebuah hakekat permasalahan yang tidak sama dengan apa yang dahulu mereka ulas. Di kalangan ahli fiqih dikenal sebuah transaksi dengan istilah “jual beli amanah.” Disebut demikian karena seorang penjual wajib jujur dalam menyebutkan harga sebuah barang kepada seorang pembeli.

Transaksi ini ada 3 jenis:

1. Murabahah
Gambarannya adalah ‘Amr –misalkan– membeli HP seharga Rp. 500 ribu lalu dia jual dengan keuntungan Rp. 100 ribu –misalkan–.

2. Wadhi’ah
Gambarannya adalah seseorang membeli sepeda seharga Rp. 1.000.000,- kemudian karena terdesak kebutuhan, maka dijualnya dengan harga Rp. 900.000,-

3. Tauliyah
Gambarannya adalah seseorang membeli barang seharga Rp. 10.000,- lalu dijual dengan harga yang sama.
Transaksi-transaksi di atas diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama, kecuali poin satu (murabahah) di mana sebagian kecil ulama memakruhkannya. Namun yang rajih adalah boleh dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Adapun sistem murabahah yang terjadi di bank-bank “Islami”, gambarannya sebagai berikut:

1. Calon pembeli datang ke bank, dia berkata kepada pihak bank: “Saya bermaksud membeli mobil X yang dijual di dealer A dengan harga Rp. 90 juta. Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut dengan pemohon, dengan mengatakan: “Kami jual mobil tersebut kepada anda dengan harga Rp. 100 juta, dengan tempo 3 tahun.” Selanjutnya bank menyerahkan uang Rp. 90 juta kepada pemohon dan berkata: “Silahkan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut.”
Transaksi di atas dilakukan di kantor bank.

2. Sama dengan gambaran pertama, hanya saja pihak bank menelpon showroom dan berkata “Kami membeli mobil X dari anda.” Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: “Silahkan anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.”
Hukum dua jenis transaksi di atas ini adalah haram sebab pihak bank menjual sesuatu yang belum dia terima.

3. Sama dengan gambaran sebelumnya, hanya saja pihak bank datang langsung ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata kepada pihak showroom: “Berikan mobil ini kepada si fulan (pemohon).” Sementara, akad jual beli dengan tambahan keuntungan antara pihak bank dan pemohon sudah purna sebelum pihak bank berangkat ke showroom.
Hukum transaksi inipun haram, sebab pihak bank menjual sesuatu yang tidak dia miliki.
Hakikat akad ini adalah pihak bank menjual nominal harga barang (90 juta) dibayar dengan nominal harga jual (100 juta) dengan formalitas sebuah mobil, dan ini adalah riba fadhl.

4. Sama dengan yang sebelumnya, hanya saja pihak bank datang ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata: “Biarkan mobil ini di sini sebagai titipan.” Lalu pihak bank mendatangi pemohon dan mengatakan: “Pergi dan ambil mobil tersebut di showroom.”
Hukum akad ini juga haram, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli barang hingga barang tersebut dipindahkan oleh sang pedagang ke tempat mereka sendiri. Maka transaksi di atas termasuk menjual sesuatu yang belum diterima.

5. Seorang pemohon datang ke bank dan dia butuh sebuah barang, maka pihak bank mengatakan: “Kami akan mengusahakan barang tersebut.” Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank, mungkin pula belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke took dan membeli barang selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian terjadilah transaksi antara pemohon dan pihak bank.
Pada akad di atas, pihak bank telah memiliki barang tersebut dan tidak dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut. Hukum transaksi ini dirinci:
– bila akadnya dalam bentuk keharusan (tidak bisa dibatalkan) maka haram, karena termasuk menjual sesuatu yang tidak dia miliki.
– bila akadnya tidak dalam bentuk keharusan dan bisa dibatalkan oleh pihak penjual atau pembeli, maka masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa kini:
a. Mayoritas ulama sekarang membolehkan transaksi tersebut, sebab tidak mengandung pelanggaran-pelanggaran syar’i. Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan Al-Lajnah Ad-Da`imah.
b. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin melarang transaksi ini dengan alasan bahwa akad tersebut adalah tipu daya menuju riba, dan beliau memasukkan akad ini ke dalam sistem ‘inah bahkan lebih parah lagi.
Hakikatnya adalah pinjam meminjam uang dengan bunga, di tengah-tengahnya ada sebuah barang sebagai formalitas. Kenyataan yang ada, pihak bank sendiri tidak akan mau dengan cara ini. Dia pasti membuat perjanjian-perjanjian, saksi-saksi, dan jaminan-jaminan atas barang tersebut.
Gambaran kelima di atas hampir tidak bisa dijumpai di bank-bank yang ada, kecuali dengan bentuk keharusan (tidak bisa dibatalkan).
Maka transaksi di atas juga tidak diperbolehkan dan kita harus berhati-hati dari sistem-sistem yang diberlakukan oleh bank manapun. (Syarhul Buyu’, hal. 90-92)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Read Full Post »

Asuransi

Kajian Utama

Dalam praktik bisnis pada umumnya, pembeli sering berada dalam posisi dirugikan. “Kaidah” ini tak terkecuali juga berlaku pada sistem asuransi. Pencairan klaim yang dipersulit adalah contoh persoalan paling klise yang banyak dialami tertanggung atau pemegang polis. Namun yang namanya pertaruhan, tak ada yang mau dirugikan begitu saja. Banyak juga kasus di mana tertanggung dengan sengaja membakar atau menghilangkan asset miliknya menjelang habis masa pertanggungan demi memperoleh klaim. Bagaimana Islam menyoroti “perjudian” bernama asuransi ini? Simak kupasannya!

Asuransi yang jenisnya kian beragam pada masa sekarang, sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga: asuransi sosial, asuransi ta’awun (gotong-royong), dan asuransi tijarah (bisnis).

Asuransi Sosial
Biasanya, asuransi jenis ini diperuntukkan bagi pegawai pemerintah, sipil maupun militer. Sering juga didapati pada karyawan perusahaan swasta. Gambarannya, pihak perusahaan memotong gaji karyawan setiap bulan dengan persentase tertentu dengan tujuan:
1. Sebagai tunjangan hari tua (THT), yang biasanya uang tersebut diserahkan seluruhnya pada masa purna tugas seorang karyawan. Terkadang ditambah subsidi khusus dari perusahaan.
2. Sebagai bantuan atau santunan bagi mereka yang wafat sebelum purna bakti, diserahkan kepada ahli waris atau yang mewakili.
3. Sebagai pesangon bagi karyawan yang pensiun dini.
Pemotongan gaji dengan tujuan di atas yang dilakukan oleh pemerintah atau sebuah perusahaan swasta murni untuk santunan bagi karyawan, bukan dalam rangka dikembangkan untuk mendapatkan laba (investasi), maka hukum asuransi jenis ini dengan sistem seperti yang tersebut di atas adalah boleh, karena termasuk dalam bab ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma`idah: 2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ

“Dan Allah selalu menolong seorang hamba selama dia selalu menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 3391 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Upaya di atas termasuk pula dalam bab ihsan (berbuat baik) kepada sesama. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 15/284, dan Syarhul Buyu’ hal. 38)
Bila potongan gaji tersebut dimanfaatkan untuk investasi dalam rangka menghasilkan penambahan nominal dari total nilai gaji yang ada, maka tidak boleh (haram), karena termasuk memakan harta orang lain dengan cara kebatilan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil.” (Al-Baqarah: 188)
Maka tidak ada hak bagi karyawan tadi kecuali nominal gajinya yang dipotong selama kerja. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ

“Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 279)
Namun bila nominal tambahan tersebut telah diterima oleh sang karyawan dalam keadaan tidak mengetahui hokum sebelumnya, maka boleh dimanfaatkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
Bila dia mengambilnya atas dasar ilmu (yakni mengetahui) tentang keharamannya, dia wajib bertaubat dan mensedekahkan ‘tambahan’ tadi. Wallahu a’lam bish-shawab. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 15/261)

Asuransi Ta’awun (Gotong Royong)
Asuransi ini dibangun dengan tujuan membantu dan meringankan pihak-pihak yang membutuhkan atau yang terkena musibah. Gambarannya, sejumlah anggota menyerahkan saham dalam bentuk uang yang disetorkan setiap pekan atau bulan dengan nominal yang tidak ditentukan nilainya, kepada yayasan/lembaga yang menangani musibah, bencana dan orang yang membutuhkan.
Biasanya, saham akan dihentikan untuk sementara bila jumlah uang dirasa sudah cukup dan tidak terjadi bencana atau musibah yang menyebabkan kas menipis atau membutuhkan suntikan dana. Sahamsaham dalam bentuk uang itu sendiri tidak dikembangkan dalam bentuk investasi. Dan asuransi ini murni dibangun di atas dasar kesadaran dan saling membantu, bukan paksaan.
Contoh di lapangan yang disebutkan oleh Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah adalah asuransi gotong royong pada perkumpulan angkutan kota atau bis (di mana kendaraan-kendaraan itu milik pribadi, bukan milik sebuah perusahaan). Caranya, masing-masing anggota menyetorkan sejumlah nominal tak tertentu, setiap pekan/bulan, kepada salah seorang yang mereka tunjuk untuk membantu anggota mereka yang mengalami kecelakaan atau terkena musibah. Setoran tersebut bersifat sukarela dan tidak mengikat, dengan nominal beragam dan dihentikan bila dirasa sudah cukup dan tidak ada musibah.
Mengenai asuransi jenis ini, para ulama anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah dan anggota Kibarul Ulama Kerajaan Saudi Arabia telah melakukan pertemuan ke-10 di kota Riyadh pada bulan Rabi’ul Awwal 1397 H. Hasilnya , mereka sepakat bahwa ta’awun ini diperbolehkan dan bisa menjadi ganti dari asuransi tijarah (bisnis) yang diharamkan, dengan beberapa alasan berikut:
1. Asuransi ta’awun termasuk akad tolong-menolong untuk membantu pihak yang terkena musibah, tidak bertujuan bisnis atau mengeruk keuntungan dari harta orang lain. Tujuannya hanyalah membagi beban musibah tersebut di antara mereka dan bergotong royong meringankannya.
2. Asuransi ta’awun ini terlepas dari dua jenis riba: fadhl dan nasi`ah. Akad para pemberi saham tidak termasuk akad riba serta tidak memanfaatkan kas yang ada untuk muamalah-muamalah riba.
3. Tidak mengapa bila pihak yang memberi saham tidak mengetahui secara pasti jumlah nominal yang akan diberikan kepadanya bila dia terkena musibah. Sebab, mereka semua adalah donatur (anggota), tidak ada pertaruhan, penipuan, atau perjudian.
Kemudian mereka memberikan usulan-usulan kepada pemerintah Kerajaan Saudi Arabia seputar masalah sosialisasi asuransi ta’awun ini. Lihat uraian panjang tentang masalah ini dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/287-292).
Sementara Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni menyayangkan dua hal yang ada pada yayasan atau lembaga yang menangani asuransi ini, yaitu:
1. Menaruh uang-uang tersebut di bank-bank riba tanpa ada keadaan yang darurat.
2. Memaksa para anggota untuk menyetorkan saham mereka dengan nominal tetap/ditentukan.
Wallahu a’lam. (Syarhul Buyu’, hal. 39)

Asuransi Tijarah (Bisnis)
Lembaga asuransi seperti ini biasanya lekat dengan para pelaku usaha dan orang yang memiliki harta berlebih, namun bisa juga bermuamalah dengan pihak manapun.
Gambaran sistem asuransi ini adalah pihak nasabah membayar nominal (premi) tertentu kepada perusahaan/lembaga asuransi setiap bulan atau tahun, atau setiap order, atau sesuai kesepakatan bersama, dengan ketentuan bila terjadi kerusakan atau musibah maka pihak lembaga asuransi menanggung seluruh biaya ganti rugi. Bila tidak terjadi sesuatu, maka setoran terus berjalan dan menjadi milik lembaga asuransi.
Asuransi jenis ini adalah bisnis murni karena memang didirikan dalam rangka mengeruk keuntungan. Terbukti, mereka biasanya akan lepas tangan dari para nasabahnya ketika terjadi peperangan besar atau tragedi –misalnya– yang mengakibatkan kerugian sangat banyak.
Ringkasnya, orang yang terbelit asuransi ini akan menghadapi pertaruhan dengan dua kemungkinan: untung atau rugi.
Untuk asuransi jenis ini, para ulama masa kini berikut lembaga-lembaga pengkajian fikih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami, Hai`ah Kibarul Ulama, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah Kerajaan Saudi Arabia, serta lembagalembaga keislaman yang lainnya baik di dunia Arab maupun internasional, telah bersepakat menyatakan keharaman asuransi jenis ini. Kecuali beberapa gelintir ulama saja yang membolehkan dengan alasan keamanan harta benda.
Berikut ini beberapa argumentasi yang disebutkan oleh Hai`ah Kibarul Ulama pada ketetapan mereka no. 55 tanggal 4/4/1397 H, tentang pengharaman asuransi bisnis di atas:
1. Asuransi bisnis termasuk pertukaran harta yang berspekulasi tinggi dengan tingkat pertaruhan yang sangat parah. Sebab, pihak nasabah tidak tahu berapa nominal yang akan dia berikan nanti dan berapa pula nominal yang bakal dia terima. Bisa jadi, dia baru menyetor sekali atau dua kali, lalu terjadi musibah sehingga dia menerima nominal (nilai pertanggungan) yang sangat besar sesuai dengan kejadiannya. Namun mungkin pula dia menyetor terus menerus dan tidak terjadi apa-apa, sehingga perusahaan asuransi meraup keuntungan besar. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang sistem jual beli gharar (yang mengandung unsur pertaruhan).
2. Asuransi bisnis termasuk salah satu jenis perjudian, dan termasuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (Al-Ma`idah: 90)
3. Asuransi ini mengandung riba fadhl dan riba nasi`ah. Rinciannya sebagai berikut:
 Bila lembaga asuransi memberikan kepada tertanggung atau ahli warisØ yang bersangkutan melebihi nominal yang disetorkan, maka ini adalah riba fadhl.
Ø Bila lembaga asuransi menyerahkannya setelah waktu yang berselang lama dari akad, maka ia juga terjatuh dalam riba nasi`ah.
 Namun bila perusahaan tersebut menyerahkan nominal yang sama denganØ jumlah setoran nasabah, tetapi setelah selang waktu yang lama, maka dia terjatuh dalam riba nasi`ah saja.
Kedua jenis riba di atas adalah haram dengan nash dalil dan kesepakatan ulama.
4. Asuransi ini termasuk jenis pegadaian/perlombaan yang diharamkan, karena mengandung pertaruhan, perjudian, dan penuh spekulasi. Pihak tertanggung memasang pertaruhan dengan setoran-setoran yang intensif, sedangkan pihak lembaga asuransi pertaruhannya dengan menyiapkan ganti rugi. Siapa yang beruntung maka dia yang mengambil pertaruhan pihak lain. Mungkin terjadi musibah dan mungkin saja selamat darinya.
5. Asuransi ini mengandung upaya memakan harta orang lain dengan cara kebatilan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian.” (An-Nisa`: 29)
6. Dalam asuransi ini terdapat tindakan mengharuskan sesuatu yang tidak ada keharusannya secara syariat. Pihak lembaga asuransi diharuskan membayar semua kerugian yang dialami pihak nasabah, padahal musibah itu tidak berasal dari lembaga asuransi tersebut atau disebabkan olehnya. Dia hanya melakukan akad asuransi dengan pihak nasabah, dengan jaminan ganti rugi yang diperkirakan terjadi, dengan mendapatkan nominal yang disetorkan pihak nasabah. Tindakan ini adalah haram.
Kemudian para ulama tersebut membantah satu per satu argumentasi pihak yang membolehkan asuransi ini dengan uraian yang panjang lebar, yang dibukukan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/275-287, juga 15/246-248). Lihat juga dalam Syarhul Buyu’ (hal. 38-39).
Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah menjelaskan bahwa system asuransi jenis ini awal mulanya bersumber dari Zionis Yahudi di Amerika. Dan ketika melakukan penjajahan terhadap wilayah-wilayah Islam, mereka memasukkan aturan ini ke tengah-tengah kaum muslimin. Semenjak itulah asuransi ini tersebar dengan beragam jenis dan modus. Wallahul musta’an
.
Fatwa Ulama Seputar Asuransi
Al-Lajnah Ad-Da`imah pernah ditanya tentang beragam jenis asuransi dengan soal yang terperinci. Berikut ini pertanyaannya secara ringkas:
“Ada yang meminta fatwa tentang jenis asuransi berikut:
1. Asuransi barang ekspor impor (pengiriman barang): per tahun atau setiap kali mengirim barang dengan jaminan ganti rugi kerusakan kargo laut, darat ataupun udara.
2. Asuransi mobil (kendaraan) dengan beragam jenis dan mereknya: Disesuaikan dengan jenis mobil, penggunaannya sesuai permintaan, dengan jaminan ganti rugi semua kecelakaan, baik tabrakan, terbakar, dicuri, atau yang lain. Juga ganti rugi untuk pihak nasabah yang mengalami musibah dan atau kecelakaan yang ada.
3. Asuransi ekspedisi darat: Untuk pengiriman dalam dan luar negeri dengan setoran intensif tahunan per ekspedisi, dengan ganti rugi total bila terjadi musibah.
4. Asuransi harta benda: Seperti ruko, pertokoan, pabrik, perusahaan, perumahan, dan sebagainya, dengan ganti rugi total bila terjadi kebakaran, pencurian, banjir besar, dll.
5. Asuransi barang berharga: Seperti cek, surat-surat penting, mata uang, permata, dsb, dengan ganti rugi total bila terjadi perampokan/pencurian.
6. Asuransi rumah dan villa/hotel.
7. Asuransi proyek, baik proyek pembangunan ataupun pabrik dan semua jenis proyek.
8. Asuransi tata kota.
9. Asuransi tenaga kerja.
10. Asuransi jiwa atau kejadiankejadian pribadi seperti asuransi kesehatan (askes) dan pengobatan.
Itu semua dengan menyetor uang secara intensif dengan nominal yang disepakati bersama.”
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab bahwa semua jenis asuransi dengan system di atas adalah haram, dengan argumentasi yang telah disebutkan di atas. Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah, 15/243-248)

Masalah 1: Bolehkah asuransi masjid?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (15/258-259):
“Asuransi bisnis adalah haram, baik itu asuransi jiwa, barang, mobil, tanah/rumah, walaupun itu adalah masjid atau tanah wakaf. Karena mengandung unsur jahalah (ketidaktahuan), pertaruhan, perjudian, riba, dan larangan-larangan syar’i lainnya.”
Ketua: Asy-Syaikh Ibnu baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Anggota: Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud dan Asy-Syaikh Ibnu Ghudayyan.

Masalah 2: Askes (Asuransi Kesehatan)
Al-Lajnah Ad-Da`imah pernah ditanya tentang asuransi kesehatan dengan system berikut:
1. Asuransi pengobatan
Ketentuannya, pihak yang ikut serta dalam program kesehatan tersebut menyerahkan nominal tertentu yang disepakati bersama, dan dia akan mendapatkan pelayanan serta diskon berikut:
a. Pemeriksaan kesehatan selama menjadi anggota maksimal 3 kali sebulan
b. Diskon 5% untuk pembelian obat
c. Diskon 15% untuk operasi di salah satu rumah sakit tertentu
d. Diskon 20% untuk tes kesehatan dan pelayanan apotek
e. Diskon 5% untuk pemasangan gigi.
Nominal setoran 580 real Saudi, dan bila anggota keluarga ikut semua maka setoran per kepala 475 real Saudi.
2. Asuransi kehamilan dan kelahiran
Cukup dengan membayar 800 real Saudi selama masa kehamilan, dengan pelayanan sbb:
a. Pemeriksaan kesehatan sejak awal kehamilan hingga melahirkan, 2-3 kali dalam sebulan. Khusus bulan terakhir dari kehamilan, pemeriksaan sekali sepekan.
b. Pemeriksaan gratis 2 kali di rumah setelah melahirkan.
c. Si bayi mendapatkan kartu pengobatan gratis selama setahun.
3. Asuransi anak sehat
Setorannya 490 real per tahun, dengan pelayanan:
a. Pemeriksaan bayi selama setahun sampai 3 kali dalam sebulan.
b. Diskon 20% untuk UGD dan operasi kecil.
c. Diskon 15% untuk operasi besar di salah satu rumah sakit tertentu.
Jawaban Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/272-274):
Program ini termasuk jenis asuransi kesehatan yang berafiliasi bisnis, dan itu adalah haram karena termasuk akad perjudian dan pertaruhan.
Nominal yang diserahkan nasabah untuk mendapatkan pelayanan berdiskon selama setahun, lebih atau kurang, terkadang tidak dia manfaatkan sama sekali karena dia tidak membutuhkan pelayanan di klinik tersebut selama jangka waktu itu. Sehingga dia rugi dengan jumlah nominal tersebut. Yang untung adalah pihak klinik. Terkadang pula dia mengambil faedah besar yang berlipat ganda dari nominal yang dia serahkan, sehingga dia untung dan kliniknya rugi…
Program ini adalah perjudian yang diharamkan dengan nash Al-Qur`an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (Al-Ma`idah: 90)
Ketua: Asy-Syaikh Ibnu Baz, Anggota: Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, Asy-Syaikh Abdul Aziz Alusy Syaikh, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan.

Masalah 3: Apa hukumnya bekerja di lembaga asuransi bisnis?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (15/251, lihat pula 15/262-264):
Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk bekerja di perusahaan asuransi sebagai sekretaris ataupun lainnya. Sebab bekerja di situ termasuk ta’awun (kerjasama) di atas dosa dan permusuhan, dan ini dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma`idah: 2)
Ketua: Asy-Syaikh Ibn Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan.

Masalah 4: Bila uang ganti rugi dari lembaga asuransi telah diterima, apa yang harus dilakukan?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (15/260-261):
Adapun harta yang telah diterima dari hasil akad asuransi bisnis, bila dia menerimanya karena tidak tahu hukumnya secara syari’i, maka tidak ada dosa baginya. Namun dia tidak boleh mengulangi lagi akad asuransi tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
Tetapi bila dia menerimanya setelah tahu hukumnya, dia wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taubat nasuha, dan mensedekahkan keuntungan tersebut.
Ketua: Asy-Syaikh Ibn Baz, Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud.
Ketika menjawab pertanyaan senada (15/260) Al-Lajnah Ad-Da`imah menyatakan: “Pihak nasabah boleh mengambil nominal uang yang pernah dia setorkan ke lembaga asuransi. Sedangkan sisanya dia sedekahkan untuk para faqir miskin, atau dia belanjakan untuk sisi-sisi kebajikan lainnya dan dia harus lepas/keluar dari lembaga asuransi.”
Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah menjelaskan: “Bila para pelaku usaha dan hartawan dipaksa untuk bermuamalah dengan lembagalembaga asuransi oleh pihak-pihak yang tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapinya atau menolak permintaannya, sehingga mereka menyetor dan bermuamalah dengan lembaga tersebut. Dosanya ditanggung oleh pihak yang memaksa. Namun ketika terjadi musibah, mereka tidak boleh menerima kecuali nominal yang telah mereka setorkan.” (Syarhul Buyu’ hal 39, pada catatan kaki).
Demikian uraian tentang masalah asuransi. Semoga bermanfaat.
Wallahul muwaffiq.

Sabtu, 14 April 2007 – 03:07:30,  

Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin

 

Read Full Post »

Tan Sri Dato Muhammad Ali Hasjim:

Lawan Penindasan Barat dengan Jihad di Sektor Bisnis

Senin, 30 Jan 06 13:53 WIB

Pengusaha Muslim Malaysia Tan Sri Dato Muhammad Haji Ali Hasjim mengatakan bahwa semua negara-negara Islam di dunia kenyataannya pada saat ini telah mengadopsi dan menerapkan sistem kapitalisme dalam kegiatan perekonomian seperti yang dianut oleh negara-negara Barat, melihat kenyataan itu sebenarnya Negara Islam tidak boleh mengikuti seratus persen apa yang telah diterapkan di negara Barat, walaupun pada hakikatnya Islam tidak pernah melarangnya.

Menurutnya sistem kapitalisme yang diterapkan oleh negara Barat jelas-jelas telah menyebabkan munculnya penindasan dan ketidakadilan dalam sistem ekonomi, kalau Negara Islam menerapkannya tanpa memilah-milah. Kapitalisme harus disesuaikan ajaran-ajaran Islam dengan menerapkan bisnis sebagai salah satu cabang jihad, sehingga walaupun kita berbisnis tetapi hasilnya tidak menimbulkan dampak negatif tetapi berguna untuk kemaslahatan umat Islam. Berikut petikan bincang-bincang eramuslim dengan Tan Sri Dato Muhammad Haji Ali Hasjim, penulis buku Bisnis Satu Cabang Jihad dan Presiden Direktur Johor Corperation Malaysia.

Sebenarnya apa konsep anda tentang bisnis dikaitkan dengan jihad?

Pada umumnya di negara-negara Islam termasuk di Malaysia pertumbuhan ekonominya masih sangat rendah dibanding negara-negara Barat yang mayoritas penduduknya non muslim, bahkan penindasan ekonomi terhadap umat Islam kerap kali terjadi. Saya rasa jihad melalui peperangan bukan jalan yang terbaik untuk menghadapi penindasan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Karena itu, umat Islam harus menyusun strategi bejihad melalui penguasaan dibidang ekonomi. Seperti diketahui ajaran Islam menyatakan bahwa 90 persen rezeki berasal dari proses berdagang atau didapat lewat jalan berbisnis, namun masih sedikit umat Islam yang melibatkan diri dalam bisnis, padahal potensi mereka sangat besar.

Bagaimana seharusnya konsep jihad diterapkan dalam berbisnis?

Sangat jelas Al-Quran menyebutkan Jihaddan Qabiiran atau jihad yang paling besar yaitu menahan hawa nafsu, sehingga diri kita menjadi lebih baik dari semua sisi kehidupan termasuk perbaikan kehidupan ekonomi. Mengapa kita tidak memilih itu sebagai jalan keluar permasalahan besar yang terjadi pada umat Islam, sebab jihad melalui peperangan bukanlah jalan keluar, karena kemampuan umat Islam belum sebanding dengan negara Barat, sehingga umat Islam harus mencoba memfokuskan jihad dalam bidang ekonomi melalui pengembangan bisnis.

Pengusaha muslim di negara Islam apakah masih kalah banyak dibandingkan pengusaha non muslim?

Saya kira jumlah pengusaha muslim di negara-negara Islam jumlahnya masih sangat sedikit, hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain karena persepsi dan pemikiran yang salah dalam memandang kehidupan dunia bisnis. Seperti di Malaysia, keadaan ini juga didukung oleh para tokoh agama yang memberikan penilaian negatif terhadap bidang bisnis, karena mereka menilai bisnis hanya menyangkut urusan keduniaan, suatu cara untuk mengejar materi dan kekayaan. Persepsi yang sempit ini sebaiknya diluruskan sehingga umat Islam dapat diberikan dorongan motivasi untuk berkecimpung dalam dunia bisnis.

Berarti harus ada upaya keras untuk merubah persepsi yang salah itu?

Ya, tidak ada pilihan lain, sebab saya perhatikan di Malaysia sampai saat ini belum banyak umat Islam yang ingin melibatkan diri ke dalam dunia bisnis atau perdagangan. Mungkin karena persepsi mereka yang menganggap bisnis itu hal yang kotor dan sumber dari segala kerusakan dan kejahatan di dunia seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat.

Selain persepsi yang salah, apalagi yang menjadi kendala pengusaha muslim di Negara Islam?

Faktor lain yang mempengaruhi segi jumlah adalah faktor latar belakang sejarah dan budaya, sebut saja bangsa Cina jauh lebih maju kehidupan perekonomiannya baik yang berada di Indonesia maupun di Malaysia, ini dikarenakan sistem budaya mereka mendukung kesempatan untuk memajukan usaha bisnis. Saya mengamati orang Cina yang merantau ke negara lain tidak pernah meminta bantuan dari pemerintahan negara tempat mereka tinggal, mereka pada umumnya mencoba mandiri untuk mencapai tujuan hidup, jiwa bisnis mereka sangat tinggi. Sedang budaya Indonesia dan Malaysia umumnya mengandalkan pola hidup bertani, dengan mereka terbiasa dengan kehidupan yang stabil, ini salah satu faktor mereka malas belajar berbisnis.

Bagaimana memotivasi agar pengusaha muslim dapat mempunyai kemauan berbisnis, meraih kesuksesan dan dapat meyelaraskannya dengan ajaran Islam?

Saya kira kita dapat mengubah segala persepsi yang buruk dulu tentang hakikat bisnis, dan merubah pandangan bahwa kita perlu terus berjihad di jalan Allah, “senjata tradisional kita sanggup berhadapan dengan musuh yang mempunyai senjata lebih canggih”, dan tahapan keimanan yang tinggi seperti ini dapat sejalan dengan semangat juang, sehingga kita merubah persepsi bahwa jihad bisa dilakukan dengan cara lain yaitu dibidang bisnis. Sedangkan untuk meraih kesuksesan dalan usahanya, umat Islam harus melihat contoh-contoh penerapan bisnis yang ideal yakni dengan menyeimbangkan bisnis dan ajaran Islam, ini yang sekarang sedang saya perjuangkan melalui Dewan Perdagangan Islam Malaysia dan Johor Coorporation, pengusaha yang memiliki cita-cita tinggi menjalankan roda bisnisnya atas dasar ajaran Islam, sehingga dalam pelaksanaannya bisnis dijadikan instrumen dakwah, hal ini juga dicontohkan oleh Rasulullah yang mengajarkan bahwa umat Islam harus menjadi pebisnis yang handal.

Berarti ada kesejajaran antara ibadah melalui dakwah dengan perjuangan bisnis?

Ya, tetapi sayangnya saat ini tidak banyak yang mengambil kesempatan beribadah beramal shaleh melalui bisnis, seolah-olah jika ingin beribadah dan beramal cuma ke masjid, bukan berarti ke Masjid itu tidak berguna, tetapi semuanya harus berjalan seimbang.

Sejauh mana anda melibatkan konsep ajaran Islam di dalam bisnis?

Bagi umat Islam 100% harus menerapkan ajaran agamanya ke dalam setiap bidang kehidupan termasuk dalam kehidupan berbisnis. Setiap orang yang sudah mempunyai ambisi berbisnis tidak boleh kompromi jika ajaran agama mengharamkan sesuatu hal dalam penerapan usahanya, bahkan pada keadaan tertentu para pengusaha dituntut mensucikan harta hasil usahanya melalui zakat.

Apa yang menjadi tantangan pengusaha muslim ke depan?

Tantangan yang paling besar yang akan dihadapi oleh pengusaha muslim baik di Indonesia dan Malaysia adalah persaingan dengan perusahaan-perusahaan besar milik negara Barat, sebab pengusaha muslim masih jadi pemain pemula di dalam dunia bisnis dan landasannya pun belum kuat dibandingkan negara barat yang sudah jauh kedepan. Namun sebaiknya pengusaha muslim jangan terpaku pada hal itu tetapi berusaha mencari strategi baru untuk menyaingi pengusaha non muslim. Saya mencontohkan usaha produk makanan halal yang dikeluarkan oleh perusahaan besar seperti Nestle, kenapa kita tidak mencoba menggunakan strategi bisnis mereka. Memang sangat sulit untuk menyaingi mereka, meskipun begitu harus bangkit melalui cara lain misalnya dengan menyatukan pengusaha muslim diberbagai Negara-negara Islam melalui jaringan kerjasama.

Selama ini apakah jaringan keterikatan antara sesama pengusaha muslim apakah sudah ada?

Ya sudah ada, tetapi belum mantap, karena mereka belum mempunyai kesadaran yang tinggi dalam hal berbisnis serta belum mempunyai semangat membela kepentingan umat Islam secara bersama-sama.

Pandangan anda terhadap pengusaha muslim di Indonesia?

Saya melihat jumlah pengusaha muslim di Indonesia makin bertambah jumlahnya, namun jumlah yang banyak tersebut harus didukung oleh jaringan atau organisasi yang kuat, sehingga perusahaan besar tidak menjajah pengusaha muslim melalui penguasaan pasar. Menurut saya Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar karena jumlah penduduknya banya dan saat ini kehidupan politiknya relative stabil, walaupun secara umum semua usaha bisnis saat ini sangat terpengaruh dengan tinggi harga minyak dunia.

Apakah tulisan anda pada buku berjudul “Bisnis, Salah Satu Cabang Jihad” juga untuk memperbaiki image umat Islam yang selalu tersudutkan dengan kata jihad?

Ya, memang selain tujuan untuk mendorong pengusaha muslim giat berbisnis, saya rasa kita tidak boleh berdiam diri menghadapi kondisi terdesak, di mana umat Islam sudah terpojok dengan makna jihad yang salah, dan sudah saatnya kita terlibat dalam dunia bisnis dan melepaskan diri dari penindasan dan kedzaliman, sehingga umat Islam tidak lagi dipandang rendah. Dengan menerapkan bisnis sebagai salah satu cara berjihad, Insya Allah perekonomian di negara-negara Isalam akan masuk ke dalam arus utama ekonomi global. (novel/ln) –eramuslim.com-

Read Full Post »

Hermawan Kartajaya :

Ekonomi Islam itu Adil dan Indah

Guru marketing Hermawan Kartajaya sudah beberapa lama bergaul dengan praktisi keuangan syariah. Ia mulai fasih mengatakan ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin. Beragama Katolik, Hermawan malah berniat ikut dalam mengembangkan nilai marketing Islami. Berikut petikan wawancara sesaat setelah peluncuran buku Sharia Marketing di Jakarta pekan lalu.

Sebetulnya apa beda marketing syariah dan konvensional?

Dalam dunia marketing itu ada istilah kelirumologi. Itu lho sembilan prinsip yang disalah artikan. Misalnya marketing diartikan untuk membujuk orang belanja sebanyak-banyaknya. Atau marketing yang yang pada akhirnya membuat kemasan sebaik-baiknya padahal produknya tidak bagus. Atau membujuk dengan segala cara agar orang mau bergabung dan
belanja. Itu salah satu kelirumologi ( merujuk istilah yang dipopulerkan Jaya Suprana). Marketing syariah itu mengajarkan orang untuk jujur pada konsumen atau orang lain. Nilai syariah mencegah orang (marketer) terperosok pada kelirumologi itu tadi. Ada nilai-nilai yang harus dijunjung oleh seorang pemasar. Apalagi jika ia Muslim.

Apakah nilai marketing syariah bisa diterapkan umat lain?

Lha ya nilai Islam itu universal. Rahmatan lil alamin. Begitu kan istilahnya. Nabi Muhammad itu menyebarkan ajaran Islam pasti bukan hanya untuk umat Islam saja. Jadi tidak apa-apa jika nilai marketing syariah ini inisiatif orang Islam supaya bisa menginspirasikan orang lain. Makin banyak non-Muslim yang ikut menerapkan nilai ini, makin bagus. Saya ikut mengendorse marketing syariah. Soal jujur itu kan universal. Jadi marketing syariah harus diketahui orang lain dalam rangka rahmatan lil alamin itu.

Apa nilai inti marketing syariah?

Integrity atau tak boleh bohong. Transparansi. Orang kan tak boleh bohong. Jadi orang membeli karena butuh dan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan, bukan karena diskonnya. Itu jika konsep marketing dijalankan secara benar.

Bagaimana muasal perkembangan nilai spiritual dalam marketing?

Sejalan dengan perkembangan dunia. Setelah September attack, orang melihat IQ dan EQ saja tidak cukup. Harus ada SQ, spiritual quotient.

Orang melihat Apakah nilai marketing syariah ini akan bertahan?

Ya pasti sustain. Karena prinsip dasarnya kejujuran. Ini yang dibutuhkan semua orang. Apalagi setelah kasus seperti Enron, Worldcom dan lainnya. Orang melihat bisnis itu harus jujur.

Lalu di mana peran ilmu marketing dalam konsep syariah?

Syariah mengendorse marketing dan marketing mengendorse syariah. Ilmu marketing menyumbangkan profesionalitas dalam syariah. Karena jika orang marketing tidak profesional, orang tetap tidak percaya. Lihat saja bagaimana investor Timur Tengah belum mau investasi di Indonesia, meski negara ini populasinya mayoritas Muslim. Karena mereka tidak yakin dengan profesionalitas kita. Jadi, jujur saja tidak cukup.

Bukankan nilai kejujuran dan transparansi itu diajarkan semua agama?

Ya. Memang semua agama mengajarkan nilai itu. Tapi jangan lupa bahwa islam itu rahmatan lil alamin. Jadi, ada titik singgung. Bukankah lebih baik mencari yang serupa dari pada memperkarakan yang berbeda. Jika begitu hidup kita damai. Menurut saya, tak mengapa kita sebut marketing syariah. Karena mayoritas populasi di Indonesia itu Muslim. Jadi nilai syariah yang kita kedepankan. Kita mulai di sini, di Indonesia. Ada bagusnya jika yang mengendorse itu orang Islam, bukan yang lain.

Setelah nilai spiritual konsep apa lagi yang akan mengemuka dalam dunia bisnis?

Millenium. Orang mencari keseimbangan. Maksudnya orang berbisnis itu harus menjaga kelangsungan alam, tidak merusak lingkungan. Berbisnis juga ditujukan untuk menolong manusia yang miskin dan bukan menghasilkan keuntungan untuk segelintir orang saja. Nilai-nilai
ini ke depan akan mengemuka. Sekarang pertemuan para praktisi marketing mulai mengarah ke sana.

Setelah mengenal Islam, apa pendapat Anda tentang nilai yang diajarkan?

Islam agama yang universal dan komprehensif. Guidance-nya lengkap. Ada petunjuk untuk seorang pedagang, kepala negara, seorang anak, panglima perang dan semuanya. Ada diatur secara lengkap. Di atas semua itu saya melihat Islam itu ajaran yang damai dan indah. Ajaran Islam bisa dipakai semua orang. Itu kesan saya dan mengapa saya mau mempelajari nilai Islam untuk dikembangkan dalam konsep marketing. Saya sekarang menjadi aktivis lingkungan dan nilai-nilai. (Republika / tid )

Read Full Post »

Meminjamkan Uang

dengan Imbalan

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Semoga Alloh senantiasa merahmati Pak Ustadz dan seluruh Muslimin wal Muslimat. Pak Ustadz, sebelumnya mohon maaf, saya mau bertanya mengenai:

1. Hukumnya meminjamkan uang ke seseorang yang kemudian oleh orang itu uang kita dipakai untuk usaha mengkreditkankan barang, dan dari situ kita sebagai pemilik modal mendapatkan bagian keuntungan sebesar 4% perbulan. Apakah transaksi yang kita lakukan tersebut halal?

2. Hampir mirip dengan no. 1, kita meminjamkan uang keseseorang untuk membeli barang, dengan kesepakatan bahwa dari setiap seratus ribu (100.000), misalnya, maka dalam 3 bulan menjadi seratus empat puluh ribu (140.000) dan berlaku kelipatannya. Apakah transaksi ini halal?

Mohon penjelasan dari Pak Ustadz mengenai hal tersebut dilengkapai dengan dalil-dalil syar’i. Terima kasih atas jawaban dan bantuan dari Pak Ustadz.

Wassalamu’alaikum Wr. Wbr.

Noer Kurniawan

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Transaksi pada contoh yang pertama hukum bisa halal dan bisa haram. Semua bergantung pada pembagian keuntungan yang disepakati 4% itu.

Transaksi itu halal kalau anda mendapat 4% dari keuntungan, bukan dari nilai uang yang anda pinjamkan. Sebab keduanya berbeda sekali. Misalnya anda pinjamkan uang 10 juta, lalu dalam sebulah usaha itu mendapatkan keuntungan bersih 2 juta. Maka yang halal adalah bila anda mendapat 4% dari 2 juta. Sedangkan bila anda mendapat 4% dari 10 juta, hukumnya haram.

Di mana perbedaannya?

Perbedaannya pada uang yang dibagi, bila dari keuntungan, maka hukumnya halal. Tapi bila dari nilai yang dipinjamkan, maka nilainya haram.

Sedangkan meminjamkan uang dengan cara yang kedua, jelas haramnya. Sebab prinsip dasar hukum riba adalah bila uang itu dipinjamkan dan ada kelebihan dalam pengembaliannya.

Kalau dipinjamkan Rp 100.000,- maka haram hukumnya bila pengembaliannya lebih meski hanya menjadi Rp 100.001,-. Apalagi bila lebih dari itu.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

 

Ribakah Royalti?

Assalamualaikum wr. wb. Ustadz,

Keluarga saya ikut menginvetasikan dana di sebuah perusahaan di mana perusahaan tersebut memberikan royalti setiap bulan sebesar 4%. Menurut Pak Ustad nilai royalti yang didapat oleh keluarga saya termasuk ribakah? Keluarga saya sendiri tidak jelas bahwa perusahaan tersebut bergerak di bidang apa, karena keluarga saya hanya mendapat informasi hanya sekilas saja.

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas jawabannya.

Dedeh
neng_dh at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Jawabnya ada dua kemungkinan, yaitu bisa halal dan bisa haram. Tergantung sistem yang digunakan dalam investasi itu.

Yang membedakan antara halal dan harambukan besarnya prosentase nilai royalti, melainkan sumber pembagian royalti.

Kalau keluarga anda tiap bulan mendapat 4% dari jumlah uang yang diinvestasikan, maka uang itu adalah uang riba. Ilustrasi sederhananya, misalnya keluarga anda berinvestasi sebesar Rp 1.00.000.000,-, lalu tiap bulan akan mendapatkan royalti fix sebesar 4% dari jumlah itu, yaitu Rp 4.000.000,-.

Bentuk ini 100% adalah riba dan hukumnya haram. Meski perusahaan tempat keluarga berinvestasi tidak merasa keberatan.

Bentuk investasi yang halal adalah bila angka royalti 4% tiap bulan itu bukan diambil dari nilai investasi, melainkan dari keuntungan usaha. Misalnya, perusahaan itu dapat keuntungan fluktuatif rata-rata sekitar Rp 100.000.000. Dan anda mendapat 4% dari keuntungan usaha yang kemungkinan besar nilainya masih bisa naik dan turun, maka transaksi model begini hukumnya halal.

Yang terjadi adalah bagi hasil, bukan pembungaan uang. Dan investasi bagi hasil itu hukumnya halal secara sistem.

Adapun bidang yang dijadikan lahan usaha, tentu saja harus pada bidang yang halal secara syariah. Maka investasi dalam bisnis dunia hiburan malam, minuman keras, rokok, narkoba dan sejenisnya, termasuk wilayah yang diharamkan bagi kita untuk berinvestasi di dalamnya.

Dalilnya adalah firman Allah SWT:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maidah: 2)

Berinvestasi dalam dunia bisnis itu ada syarat mutlaknya, yaitu kita harus tahu pasti bahwa bisnis yang dikembangkan adalah bisnis yang halal 100% sesuai dengan syariah Islam. Bila masih belum halal, maka kita termasuk golongan orang yang disebutkan oleh ayat di atas, yaitu saling tolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

 

Read Full Post »

MLM

Multi Level Marketing

Oleh : Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu Yusuf 

Ditengah kelesuan dan keterpurukan ekonomi nasional, datanglah sebuah sistem bisnis yang banyak menjanjikan dan keberhasilan serta menawarkan kekayaan dalam waktu singkat. 

Sistem ini kemudian dikenal dengan istilah Multi Level Marketing (MLM) atau Networking Marketing. Banyak orang yang bergabung kedalamnya, baik dari kalangan orang-orang awam ataupun dari kalangan penuntut ilmu, bahkan dari berita yang sampai kepada kami ada sebagian pondok pesantren yang mengembangkan sistem ini untuk pengembangan usaha pesantren.

Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah bisnis dengan model semacam ini diperbolehkan secara syar’i ataukah tidak ? Sebuah permasalahan yang tidak mudah untuk menjawabnya, karena ini adalah masalah aktual yang belum pernah disebutkan secara langsung dalam litelatur para ulama’ kita. 

Namun alhadulillah Allah telah menyempurnakan syari’at islam ini untuk bisa menjawab semua permasalahan yang akan terjadi sampai besok hari kiamat dengan berbagai nash dan kaedah-kaedah umum tentang masalah bisnis dan ekonomi.

Oleh karena itu dengan memohon petunjuk pada Allah, semoga tatkala tangan ini menulis dan akal berfikir, semoga Allah mencurahkan cahaya kebenaran-Nya dan menjauhkan dari segala tipu daya syaithan. 

Wallahul Muwaffiq

Kaedah Penting Bagi Pelaku Bisnis

Ada dua kaedah yang sangat penting untuk bisa memahami hampir seluruh permasalahan yang berhubungan dengan hukum islam, sebagaimana  dikatakan Ibnul Qayyim Rahimahullah  “Pada dasarnya semua ibadah hukumnya haram kecuali kalau ada dalil yang memerintahkannya, sedangkan asal dari hukum transaksi dan mu’amalah adalah halal kecuali  kalau ada dalil yang melarangnya”. (Lihat I’lamul Muwaqi’in 1/344). 

Dalil ibadah adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam :

“Dari ‘Aisyah radhiallahu anha berkata : “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda: “ Barangsiapa yang mengamalkan  sesuatu yang tidak ada contohnya dari kami, maka akan tertolak “(HR. Muslim)

Adapun dalil masalam mu’amalah adalah firman Allah Ta’ala:

Dia-lah Allah yang telah menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah: 29)

(Lihat Ilmu Suhul Al-Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, Al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Syaikh As-Sa’di hal:58) 

Oleh karena itu apaun nama dan model bisnis tersebut pada dasarnya dihukumi halal selagi dilakukan atas dasar sukarela dan tidak mengandung salah satu unsur keharaman, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275) 

Juga firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu”. (QS. An-Nisaa: 29)

Adapun hal-hal yang  bisa membuat sebuah transaksi bisnis menjadi haram adalah : 

  1. Riba

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata : “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu yang paling ringan adalah semacam dosa seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri” (HR. Ahmad 15/69/230, lihat Shahihul Jami 3375)

  1. Ghoror

(Adanya Spekulasi yang tinggi) dan jahalah (adanya sesuatu yang tidak jelas).

“Dari Abu Hurairah radhiallhu anhu berkata : “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melarang jual beli ghoror”. (HR. Muslim 1513) 

  1. Penipuan

Dari Abu Hurairah radhiallhu anhu berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melewati seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan tersebut, ternyata beliau tertipu. Maka beliau bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu”. (HR. Muslim 1/99/102, Abu Dawud 3435, Ibnu Majah 2224)

  1. Perjudian atau adu nasib

Firman Allah Ta’ala:

“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib, adalah perbuatan syaithan maka jauhilah.” (QS. Al-Maaidah: 90) 

  1. Kedhaliman

Sebagaimana firman Allah:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil…” (QS. An-Nisaa:29)

6.     Yang dijual adalah barang haram

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallhu anhuma berkata :”Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu dawud 3477, Baihaqi 6/12 dengan sanad shahih)

(Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Zadul Ma’ad Imam Ibnul Qayyim 5/746, Taudlihul Ahkam Syaikh Abdullah Al-Bassam 2/233, Ar-Roudloh An-Nadiyah 2/345, Al-Wajiz Syaikh Abdul Adlim al-Badawi hal:332). 

Sekilas Tentang MLM

Pengertian MLM

Secara umum Multi Level Marketing adalah suatu metode bisnis alternatif yang berhubungan dengan pemasaran dan distribusi yang dilakukan melalui banyak level (tingkatan), yang biasa dikenal dengan istilah Upline (tingkat atas) dan Downline (tingakt bawah), orang akan disebut Upline jika mempunyai Downline. Inti dari bisnis MLM ini digerakkan dengan jaringan ini, baik yang bersifat vertikal atas bawah maupun horizontal kiri kanan ataupun gabungan antara keduanya. (Lihat All About MLM oleh Benny Santoso hal: 28, Hukum Syara MLM oleh hafidl Abdur Rohman, MA) 

Kilas Balik Sejarah MLM

Akar dari MLM tidak bisa dilepaskan dari berdirinya Amway Corporation  dan produknya nutrilite yang berupa makanan suplemen bagi diet agar tetap sehat. Konsep ini dimulai pada tahun 1930 oleh Carl Rehnborg, seorang pengusaha Amerika yang tinggal di Cina pada tahun 1917-1927.

Setelah 7 tahun melakukan eksperimen akhirnya dia berhasil menemukan makanan suplemen tersebut dan memberikan hasil temuannya kepda teman-temannya. Tatkala mereka ingin agar dia menjualnya pada mereka, Rehnborg berkata “Kamu yang menjualnya kepada teman-teman kamu dan saya akan memberikan komisi padamu”.

Inilah praktek awal MLM yang singkat cerita selanjutnya perusahaan Rehnborg ini yang sudah bisa merekrut 15.000 tenaga penjualan dari rumah kerumah dilaramg beroperasi oleh pengadilan pada tahun 1951, karena mereka melebih-lebihkan peran dari makanan tersebut. Yang mana hal ini membuat Rich DeVos dan Jay Van Andel Distributor utama produk nutrilite tersebut yang sudah mengorganisasi lebih dari 2000 distributor mendirikan American Way Association yang akhirnya berganti nama menjadi Amway. (Lihat All About MLM hal:23)

Sistem Kerja MLM

Secara global sistem bisnis MLM dilakukan dengan cara menjaring calon nasabah yang sekaligus berfungsi sebagai konsumen dan member (anggota) dari perusahaan yang melakukan praktek MLM. Adapun secara terperinci bisnis MLM dilakukan dengan cara sebagai berikut :

  1. Mula-mula pihak perusahaan berusaha menjaring konsumen untuk menjadi member, dengan cara mengharuskan calon konsumen membeli paket produk perusahaan dengan harga tertentu.
  2. Dengan membeli paket produk perusahaan tersebut, pihak pembeli diberi satu formulir keanggotaan (member) dari perusahaan.
  3. Sesudah menjadi member maka tugas berikutnya adalah mencari member-member baru dengan cara seperti diatas, yakni membeli produk perusahaan dan mengisi folmulir keanggotaan.
  4. Para member baru juga bertugas mencari calon member-member baru lagi dengan cara seperti diatas yakni membeli produk perusahaan dan mengisi folmulir keanggotaan.
  5. Jika member mampu menjaring member-member yang banyak, maka ia akan mendapat bonus dari perusahaan. Semakin banyak member yang dapat dijaring, maka semakin banyak pula bonus yang didapatkan karena perusahaan merasa diuntungkan oleh banyaknya member yang sekaligus mennjadi konsumen paket produk perusahaan.
  6. Dengan adanya para member baru yang sekaligus menjadi konsumen paker produk perusahaan, maka member yang berada pada level pertama, kedua dan seterusnya akan selalu mendapatkan bonus secara estafet dari perusahaan, karena perusahaan merasa diuntungkan dengan adanya member-member baru tersebut.

Diantara perusahaan MLM, ada yang melakukan kegiatan menjaring dana masyarakat untuk menanamkan modal diperusahaan tersebut, dengan janji akan memberikan keuntungan sebesar hampir 100% dalam setiap bulannya. (Lihat Fiqh Indonesia Himpunan Fatwa MUI DKI Jakarta hal: 285-287)

Ada beberapa perusahaan MLM lainnya yang mana seseorang bisa menjadi membernya tidak harus dengan menjual produk perusahaan, namun cukup dengan mendaftarkan diri dengan membayar uang pendaftaran, selanjutnya dia bertugas mencari anggota lainnya dengan cara yang sama, semakin banyak anggota maka akan semakin banyak bonus yang diperoleh dari perusahaan tersebut.

Kesimpulannya, memang ada sedikit perbedaan pada sistem setiap perusahaan MLM, namun semuanya berinti pada mencari anggota lainnya, semakin banyak anggotanya semakin banyak bonus yang diperolehnya.

Hukum Syar’i Bisnis MLM

Beragamnya bentuk bisnis MLM membuat sulit untuk menghukumi secara umum, namun ada beberapa sistem MLM yang jelas keharamannya, yaitu menggunakan sistem sebagai berikut :

  1. Menjual barang-barang yang diperjualbelikan dalam sistem MLM dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga wajar, maka hukumnya haram karena secara tidak langsung pihak perusahaan teah menambahkan harga yang dibebankan kepada pihak pembeli sebagi sharing modal dalam akad syirkah mengingat pembeli sekaligus akan menjadi member perusahaan yang apabila ia ikut memasarkan akan mendapat keuntungan estafet. Dengan demikian praktek perdagangan MLM mengandung unsur kesamaran atau penipuan karena terjadi kekaburan antara akad jual beli, syirkah dan mudlarabah, karena pihak pembeli sesudah menjadi member juga berfungsi sebagai pekerja yang akan memasarkan produk perusahaan kepada calon pembeli atau member baru. (Lihat Fiqh Indonesia hal: 288)
  2. Calon anggota mendaftar keperusahaan MLM dengan membayar uang tertentu, dengan ketentuan dia harus membeli produk perusahaan baik untuk dijual lagi atau tidak dengan ketentuan yang telah ditetapkan untuk bisa mendapatkan point atau bonus. Dan apabila tidak bis a mencapai target tersebut maka keanggotaannya akan dicabut dan uangnya pun hangus. Ini diharamkan karena unsur ghoror (spekulasi) nya sangat jelas dan ada unsur kedhaliman terhadap anggota.
  3. Calon anggota mendaftar dengan membayar uang tertentu, tapi tidak ada keharusan untuk membeli atau menjual produk perusahaan, dia hanya berkewajiban mencari anggota baru dengan cara seperti diatas, yakni membayar uang pendaftaran. Semakin banyak anggota maka akan semakin banyak bonusnya. Ini adalah bentuk riba karena menaruh uang diperusahaan tersebut kemudian mendapatkan hasil yan lebih banyak.
  4. Mirip dengan yang sebelumnya yaitu perusahaan MLM yang melakukan kegiatan menjaring dana dari masyarakat untuk menanamkan modal disitu dengan janji akan diberikan bunga dan bonus dari modalnya. Ini adalah haram karena ada unsur riba.
  5. Perusahaan MLM yang melakukan manipulasi dalam memperdagangkan produknya, atau memaksa pembeli untuk mengkonsumsi produknya atau yang dijual adalah  barang haram. Maka MLM tersebut jelas keharamannya. Namun ini tidak cuma ada pada sebagian MLM tapi bisa juga pada bisnis model lainnya.

Kalau ada yang bertanya “Okelah , kita sepakat bahwa MLM dengan beberapa model diatas telah jelas keharamannya, namun bagaimana sebenarnya hukum MLM secara umum ?.

Saya paparkan disini keterangan dari Syaikh Salim Al-Hilali Hafidzahullah1 . Beliau berkata : “ Banyak pertanyaan seputar bisnis yang banyak diminati oleh khalayak ramai. Yang secara umum gambarannya adalah mengikuti pola piramida dalam sistem pemasaran, dengan cara setiap anggota harus mencari anggota- anggota baru dan demikian seterus selanjutnya. Setiap anggota membayar  uang pada perusahaan dengan jumlah tertentu dengan iming-iming dapat bonus, semakin banyak anggota dan memasarkan produknya maka akan semakin banyak bonus yang dijanjikan. Sebenarnya kebanyakan anggota MLM ikut bergabung dalam perusahaan tersebut adalah karena adanya iming-iming bonus tersebut dengan harapan agar cepat kaya dalam waktu yang sesingkat mungkin dan bukan karena dia membutuhkan produknya. Bisnis model ini adalah perjudian murni, karena beberapa sebab berikut, yaitu:

Ø      Sebenarnya anggota MLM ini tidak menginginkan produknya, akan tetapi tujuan utama mereka adalah penghasilan dan kekayaan yang banyak lagi cepat yang akan diperoleh setiap anggota hanya dengan membayar sedikit uang.

Ø      Harga produk yang dibeli sebenarnya tidka sampai 30% dari uang yang dibayarkan pada perusahaan MLM.

Ø      Bahwa produk ini bisa dipindahkan oleh semua orang dengan biaya yang sangat ringan, dengan cara mengakses dari situs perusahaan MLM ini dijaringan internet.

Ø      Bahwa perusahaan meminta para anggotanya untuk memperbaharui keanggotaannya setiap tahun dengan di iming-imingi berbagai program baru yang akan diberikan pada mereka.

Ø      Tujuan perusahaan adalah membangun jaringan personil secara estafet dan berkesinambungan. Yang mana ini akan menguntungkan anggota yang berada pada level atas (Upline) sedangkan level bawah (downline) selalu memberikan nilai point pada yang berada dilevel atas mereka 2

Berdasarkan ini semua, maka  sistem bisnis semacam ini tidak diragukan lagi keharamannya karena beberapa sebab yaitu :

  1. Ini adalah penipuan dan manipulasi terhadapa anggota.
  2. Produk MLM ini bukanlah tujuan yang sebenarnya. Produk in hanya bertujuan untuk mendapat izin dalam undang-undang dan hukum syar’i
  3. Banyak dari kalangan pakar ekonom dunia sampai pun orang-orang non muslim meyakini bahwa jaringan piramida ini adalah sebuah permainan dan penipuan, oleh karena itu mereka melarangnya karena bisa membahayakan perekonomian nasional baik bagi kalangan individu maupun bagi masyarakat umum. Berdasarkan ini semua, tatkala kita mengetahui bahwa hukum syar’I didasarkan pada maksud dan hakekatnya serta bukan sekedar polesan luarnya, maka perubahan nama sesuatu yang haram akan semakin menambah bahayanya karena ini berarti terjadi penipuan terhadap Allah dan Rasul-Nya3 , oleh karena itu sistem bisnis semacam ini adalah haram dalam pandangan syar’I. Kalau ada yang bertanya : “Bahwasanya bisnis ini bermanfaat bagi sebagian orang” Jawabannya : “Adanya manfaat pada sebagian orang tidak bisa menghilangkan keharamannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah : Pada keduanya itu terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (QS Al-Baqarah:219)

Tatkala bahaya dari khamr dan perjudian itu lebih banyakdaripada manfaatnya, maka keduanya dengan sangat tegas diharamkan. Kesimpulannya, bisnis ini adalah memakan harta manusia dengan cara yang bathil, juga merupakan bentuk spekulasi dan spekulasi adalah bentuk perjudian” (http://www.alhelaly.com , bagian soal jawab)

Fatwa Tentang MLM

Berikut ini adalah teks fatwa Markaz Imam Al-albani bertanggal 26 Sya’ban 1424H yang ditanda tangani oleh para masyaikh Yordania murid-murid Imam Al-Albani, yaitu Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr, Salim bin ‘Id Al-Hilali, Ali bin Hasan Al-Halabi, Masyhur bin Hasan Alu Salman. Berikut teks fatwa mereka.

Banyak pertanyaan yang datang kepada kami dari berbagai penjuru tentang hukum bergabung dengan PT. Bisnis dan perusahaan modern semisalnya yang menggunakan sistem piramida. Yang mana bisnis ini secara umum dijalankan dengan cara menjual produk tertentu serta membayar uang dalam jumlah tertentu tiap tahun untuk bisa tetap menjadi anggotanya. Yang mana karena dia telah mempromosikan sistem bisnis ini maka kemudian pihak perusahaan akan memberikan uang dalam jumlah tertentu yang terus bertambah sesuai denga hasil penjualan produk dan perekrutan anggota baru.

Jawab:

Bergabung menjadi anggota PT. Semacam ini untuk mempromosikannya yang selalu terkait dengan pembayaran uang dengan menunggu bisa merekrut anggota baru serta masuk dalam sistem bisnis piramida ini hukumnya HARAM, karena seorang anggota jelas-jelas telah membayar uang tertentu demi memperoleh uang yang masih belum jelas dalam jumlah yang lebih besar. Dan ini tidak bisa diperoleh melainkan secara kebetulan ia sedang bernasib baik, yang mana sebenarnya tidak mampu diusahakan oleh sianggota tersebut. Ini adalah murni sebuah bentuk perjudian berdasarkan kaedah para ulama’. Wallahu Al-Muwaffi

Amman al-Balqo’ Yordania

26 Sya’ban 1424H

Penutup

Inilah analisis fiqih tentang fenomena bisnis MLM. Namun tetap kami katakan bahwa jika ada salah satu perusahaan MLM yang selamat dari pelanggaran syar’I yang kami sebutkan diatas, maka hukumnya kembali pada kehalalannya karena memang pad dasarnya semua mu’amalah hukumnya halal kecuali kalau ada sisi yang mengharamkannya. Akan tetapi ada sebuah tanda tanya besar: “Adakah MLM yang seperti itu?”  kami tunggu jawabannya dari para pelaku bisnis MLM. Akhirnya semoga Allah Ta’ala menjauhkan diri kita dan keluarga kita serta segenap ummat Islam dari melakukan sesuatu yang haram serta semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan rizqi yang halalan thayyiban. Wallahu A’alam Bishowab

Fotenote:

  1. Jangan ada yan berkata bahwa bisa saja hukum ini adalah kesimpulan Syaikh Salim Al-Hilali dari MLM yang ada di Yordania yang berarti tidak mencakup MLM yang ada di Indonesia, karena dua hal :

Ø       Ini adalah jawaban beliau atas pertanyaan seputar bisnis MLM yang datang dari seantero penjuru dunia.

Ø       Bahwa MLM semuanya dan dimana saja berawal dari Amway yang pada intinya adalah pemasaran produk perusahaan dengan sistem berantai yang membentuk piramida. Dengan dalil bahwa gambaran syaikh tentang MLM sama dengan yan ada di Indonesia. Jika penduduk kota Surabaya berjumlah empat juta orang dan semua penduduk tergabung dalam satu saja perusahaan MLM, maka pada level sebelas seorang anggota tidak mungkin lagi mencari anggota baru di kota Surabaya. Dan ini sepertinya sesuatu yang jauh sekali , karena tidak semua orang ingin mengikuti program MLM, dan anggaplah semuanya tergabung dalam MLM pastilah dalam banyak PT. MLM dan bukan pad asalah satu saja. Yang ini semua mengharuskan orang pada level delapan atau sembilan tidak bisa lagi mencari anggota baru.

  1. Bukti bahwa yang diuntungkan dengan sistem MLM adalah Upline, sedangkan Downline akan selalu dirugikan adalah bahwa bentuk piramida ini akan berhenti pada level tertentu yang mana mereka tidak mungkin bisa mencari anggota baru lagi, ang dengannya semua bonus dan point yang dijanjikan adalah impian belaka. Dan perlu dicermati bahwa dimanapun Downline akan selalu lebih banyak daripada Upline. Sebagai sebuah gambaran, apabila ada suatu Perusahaan MLM yang mengharuskan setiap anggotanya untuk merekrut lima orang anggota lainnya, maka perhitungannya sebagai berikut:

Level

Jumlah Orang Perlevel

Total Org Yang dibutuhkan

1

1

1

2

5

6

3

25

31

4

125

176

5

625

801

6

3.125

3.926

7

15.625

19.551

8

78.125

97.676

9

390.625

488.301

10

1.953.125

2.441.426

11

9.765.625

12.207.051

  1. Beliau mengisyaratkan pada sebuah hadits :

Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiallhu anhu berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :”Sesungguhnya sebagian dari ummatku akan minum khamr dan mereka menamakannya dengan nama yang lain serta dimainkan musik dan biduanita pada mereka, Sungguh Allah akan membuat mereka tertelan bumi serta menjadikan mereka sebagai kera dan babi”  (HR. Abu Dawud 3688, Ibnu Majah 4020 dengan sanad Shahih, lihat As-Shahihah I/138)

Ditulis ulang tanpa menyertakan tulisan/teks arabnya dari majalah Al-Furqon, Edisi 11 th III/ Jumadi tsani 1425 hal: 30-35

Read Full Post »

HAKIKAT MUDHARABAH

PENGERTIAN MUDHARABAH
Syarikah mudharabah memiliki dua istilah. Yaitu mudharabah dan qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum Muslimin.

Penduduk Iraq menggunakan istilah mudharabah untuk menyebut transaksi syarikah ini. Disebut sebagai mudharabah, karena diambil dari kata dharb di muka bumi. Yang artinya, melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang. Allah berfirman.

“Artinya : (Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu) orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah ; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah” [Al-Muzzammil : 20]

Ada juga yang mengatakan diambil dari kata dharb (mengambil) keuntungan dengan saham yang dimiliki.

Dalam istilah bahasa Hijaz, disebut juga dengan qiradh, karena diambil dari kata muqaradhah, yang artinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan.

“Dua orang penyair melakukan muqaradhah”, yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Adapun yang dimaksud dengan qiradh disini, yaitu perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang.

Ada juga yang menyatakan, bahwa kata itu diambil dari qardh, yakni memotong. Tikus itu melakukan qardh terhadap kain, yakni menggigitnya hingga putus. Artinya, dalam masalah ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya. [1]

Sedangkan menurut para ulama, istilah syarikah mudharabah memiliki pengertian, yaitu pihak pemodal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan pemodal berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan. [2]

Dengan kata lain, mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak. Salah satu pihak menyerahkan harta (modal) kepada yang lain agar diperdagangkan, dengan pembagian keuntungan di antara keduanya sesuai dengan kesepakatan. [3] Sehingga mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih. Dalam hal ini, pemilik modal (shahib al mal atau investor) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. [4]

Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari shahib al mal dan keahlian (pengelola) dari mudharib.

HUKUM MUDHARABAH DALAM ISLAM
Para ulama telah sepakat, sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah ijma ulama yang membolehkannya, seperti dinukilkan Ibnul Mundzir[5], Ibnu Hazm[6], Ibnu Taimiyah[7], dan lainnya.

Ibnu Hazm mengatakan, “Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang kita ketahui –alhamdulillah- kecuali qiradh (mudharabah, -pen). Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Namun dasarnya adalah ijma yang benar. Yang dapat kami pastikan, hal ini ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengetahui dan menyetujuinya. Dan seandainya tidak demikian, maka tidak boleh” [8]

Berkaitan dengan pandangan Ibnu Hazm tersebut, maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengomentari pernyataan Ibnu Hazm, bahwa :

[1]. Bukan termasuk madzhab beliau (Ibnu Hazm) membenarkan ijma tanpa diketahui sandarannya dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan ia sendiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan dasar dalil mudharabah dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
[2]. Ibnu Hazm tidak memandang, bahwa tidak adanya yang menyelisihi adalah ijma, padahal ia tidak memiliki disini kecuali ketidak-tahuan adanya yang menyelisihi
[3]. Ibnu Hazm mengakui persetujuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah mengetahui sistem mu’amalah ini. Taqrir (persetujuan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk satu jenis sunnah, sehingga (pengakuan Ibnu Hazm) tidak adanya dasar dari sunnah menentang pernyataan beliu ini tentang taqrir ini.
[4]. Jual beli (perdagangan) dengan keridhoan kedua belah pihak, yang ada dalam Al-Qur’an meliputi juga qiradh dan mudharabah.
[5]. Madzhab Ibnu Hazm menyatakan harus ada nash dalam Al-Qur’an dan Sunnah atas setiap permasalahan, lalu bagaimana disini meniadakan dasar dalil qiradh dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
[6]. Tidak ditemukannya dalil tidak menunjukkan ketidak adaannya.
[7]. Atsar yang ada dalam hal ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sampai pada derajat pasti (qath’i) dengan semua kandungannya, padahal Ibnu Hazm memastikan persetujuan Nabi dalam permasalahan ini.[9]

Demikian juga Syaikh Al-Albani mengkritik pernyataan Ibnu Hazm di atas dengan menyatakan, ada beberapa bantahan (atas pernyataan beliau). Yang terpenting, bahwa asal dalam mu’amalah adalah boleh, kecuali ada nash (yang melarang). Berbeda dengan ibadah, pada asalnya, dalam ibadah dilarang kecuali ada nash, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Qiradh dan mudharabah jelas termasuk yang pertama. Juga ada nash dalam Al-Qur’an yang membolehkan perdagangan dengan keridhaan, dan ini mencakup qiradh. Ini semua cukup sebagai dalil kebolehannya dan dikuatkan dengan ijma yang beliau akui sendiri. [10]

Dibagian lain, Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Sebagian orang menjelaskan beberapa permasalahan yang ada ijma di dalamnya, namun tidak memiliki dasar nash seperti mudharabah. Hal itu tidak demikian. Mudharabah sudah masyhur di kalangan bangsa Arab Jahiliyah, apalagi pada bangsa Quraisy. Karena umumnya, perniagaan merupakan pekerjaan mereka. Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengelola (Umaal). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah berangkat membawa harta orang lain sebelum kenabian, seperti memperdagangkan harta Khadijah. Juga kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan, kebanyakan dengan sistem mudharabah dengan Abu Sufyan dan selainnya. Ketika Islam datang. Rasulullah menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat dalam perniagaan harta orang lain secara mudharabah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan beliau. Ketika beliau menyetujui, maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah” [11]

Hukum ini, juga dikuatkan dengan adanya amalan sebagian sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya yang diriwayatkan dalam Al-Muwattha [12] dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwa ia menceritakan : Abdullah dan Ubaidillah bin Umar bin Al-Kaththab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraq. Ketika kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa Al-Asy’ari, yakni Gubernur Bashrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita.

Beliau berkata, “Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk kalian, pasti akan aku lakukan”, kemudian beliau berkata : “Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari harta Allah yang akan aku kirimkan kepada Amirul Mukminin. Aku memimjamkannya kepada kalian, untuk kalian belikan sesuatu di Iraq ini, kemudian kalian jual di kota Al-Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil”.

Mereka berkata, “Kami suka (dengan hal) itu”, maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan kepada Umar bin Al-Khaththab, agar Amirul Mukminin itu mengambil dari mereka uang yang dia titipkan.

Sesampainya di kota Al-Madinah, mereka menjual barang itu dan mendapat keuntungan.

Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar, lantas Umar berkata : “Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua?”

Mereka menjawab, “Tidak”.

Beliau berkata, “Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin, sehingga ia memberi kalian pinjaman? Kembalikan uang itu beserta keuntungannya”. Adapaun Abdullah, hanya terdiam saja, sementara Ubaidillah langsung angkat bicara : “Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian, wahai Amirul Mukminin. Kalau uang itu berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggung jawab,” (namun) Umar tetap berkata, “berikan uang itu semuanya”.

Abdullah tetap diam, sementara Ubaidillah tetap membantah.Tiba-tiba salah seorang di antara pegawai Umar berkata : “Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi, wahai Umar?”.

Umar menjawab, “Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi”. Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya, sementara Abdullah dan Ubaidillah mengambil setengah keuntungan sisanya. [13]

Kaum Muslimin sudah terbiasa melakukan kerja sama semacam itu hingga jaman sekarang ini, di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun-temurun, dari zaman jahiliyah hingga zaman Nabi, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.

Oleh Ustadz Khalid Syamhudi

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin At-Turki, Cet II, Th 1412H, Penerbit Hajr (7/133), Asy-Syarh Al-Mumti ‘Ala Zaad Al-Mustaqni, karya Ibnu Utsaimin, tahqiq Abu Bilal Jamal Abdul Aal, Cet. I, Th 1423H, Penerbit Dar Ibnu Al-Haitsam, Kairo, Mesir (4/266), Al-Fiqhu Al-Muyassar, Bagian Fiqh Mu’amalah, karya Prof Dr Abdullag bin Muhammad Ath-Thayar, Prof Dr Abdullah bin Muhammad Al-Muthliq dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alimusaa, Cet. I, Th 1425H, hal.185, Al-Bunuk Al-Islamiyah Baina An-Nadzariyat wa Tathbiq, karya Prof Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar, Cet II, Th 1414H, Muassasah Al-Jurais, Riyadh, KSA hal.122
[2]. Al-Mughni, op. cit (7/133)
[3]. Al-Bunuk Al-Islamiyah Baina An-Nadzariyat wa Tathbiq, op.cit, hal. 122
[4]. Al-Fiqhu Al-Muyassar, op.cit, hal. 185. Hal ini juga diakui oleh PKES (Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah) Indonesia dalam buku saku Perbankan Syari’at, hal.37
[5]. Al-Mughni, op.cit (7/133)
[6]. Maratib Al-Ijma, karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan. Penerbit Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, hal.91
[7]. Majmu Fatawa (29/101)
[8]. Maratib Al-Ijma, op.cit, hal.91-92
[9]. Naqdh Maratib Al-Ijma, karya Syaikhul Islam yang dicetak sebagai foote note kitab Maratib Al-Ijma, hal. 91-92
[10]. Irwa Al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar As-Sabil, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Cet II, Th 1405H, Al-Maktab Islami, Beirut (5/294)
[11]. Majmu Fatawa (19/195-196)
[12]. Dalam kitab Al-Qiradh, Bab I, hal. 687 dan dibawakan juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Fatawa (19/196)
[13]. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa Al-Ghalil (5/290-291)

Read Full Post »

Ekonomi Malaysia

Melirik Kemajuan

Oleh H. Is Anwar Datuk Rajo Perak, SH
KEPEMIMPINAN Perdana Menteri Mahathir Mohamad telah mengantarkan Negara tetangga Malaysia berkembang sangat stabil di Asia Tenggara. Bahkan sangat sukses untuk menggapai status sebagai negeri industri baru (newly industrializing countries) generasi kedua dan meningalkan Indonesia…

Sungguh ironis perkembangan yang terjadi di Indonesia jika dibandingkan dengan negara Malaysia, karena tahun 1970-an negara jiran ini masih banyak mendatangkan tenaga dokter, guru, montir, ahli pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan dari Indonesia. Ribuan mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia atas biaya pemerintahnya. Sejarah pun berputar dua dekade kemudian, ribuan mahasiswa Indonesia justru banyak belajar tentang pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan di universitas-universitas terkemuka di Malaysia. Bahkan jika diukur dari pendapatan per kapita, saat ini Malaysia sudah mencapai 4.500 dollar AS, sedangkan Indonesia masih berkisar 725 dollar AS.

Sementara keadaan infrastruktur perekonomian di Indonesia sendiri tidak banyak berubah, walaupun Indonesia lebih dahulu merdeka 1945 ketimbang Malaysia yang baru merdeka “dihadiahkan” oleh Inggris tahun1957. Untuk menyenangkan perasaan masyarakat, retorika politik pun digunakan dengan dalih penduduk Malaysia hanya berjumlah 25,5 juta jiwa, jelas mereka lebih cepat sejahtera ketimbang Indonesia yang jumlah penduduknya sudah mencapai 250 juta jiwa. Namun dalih yang digunakan Indonesia kurang tepat jika dibandingkan dengan negara Amerika Serikat dengan jumlah penduduk dan wilayahnya yang jauh lebih besar dari negara Indonesia, namun pendapatan per kapitanya lebih tinggi 30 kali daripada Indonesia. Begitu juga dengan negara RRC yang jumlah sudah mencapai 1,3 miliar jiwa, namun tidak menyebabkan rakyatnya melarat dan pemerintahnya mengemis utang ke luar negeri seperti Indonesia.

Perlakuan Istimewa Bagi Bumi Putra
Kemajuan pembangunan yang terjadi di negara Malaysia saat ini, bukan datang begitu saja. Kontribusi pemerintah Malaysia sejak 30 tahun atau lebih memberikan perlakuan khusus kepada masyarakat Melayu atau Bumi Putra telah meningkatkan peranserta komunitas Melayu dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, sosial dan budaya. Perlakuan khusus itu diterapkan semenjak Malaysia dipimpin Mahathir Mohamad, yang selalu menjunjung tinggi hak-hak kaum Melayu.

Mahathir Mohamad merasa perlu mendorong komunitas Melayu untuk lebih banyak memasuki universitas-universitas terkemuka di Malaysia, jika perlu dikirim ke universitas yang berkualitas terbaik di luar negeri dengan biaya dari pemerintah. Di samping itu komunitas Melayu diberikan insentif maupun kemudahan-kemudahan lainnya melakukan investasi maupun izin melakukan usaha. Kebijakan Mahathir Mohamad itu ternyata telah memberikan dampak yang luar biasa bagi peningkatan ekonomi Malaysia. Warga Melayu Malaysia yang sudah menjalani pendidikan tinggi diberikan kemudahan untuk langsung masuk jajaran manajer tingkat menengah. Tanpa perlakuan khusus tersebut jelas masyarakat Melayu Malaysia tidak akan bisa bangkit sejajar dengan komunitas lainnya yang sudah mapan dalam segi ekonomi maupun pendidikan. Etnis Cina, India, dan Arab yang berada di Malaysia di awal kemerdekaan Malaysia sudah memiliki infrastruktur ekonomi yang kuat, sehingga tanpa dukungan pemerintah pun mereka berkembang dengan baik mengikuti perkembangan ekonomi global.

Pemberian perlakuan khusus yang dilakukan Mahathir Mohamad terhadap etnis Melayu bukan merupakan diskriminasi ekonomi maupun penzaliman hak asasi etnis lainnya, melainkan dalam rangka mensejajarkan penguasaan ekonomi yang seimbang di antara etnis yang ada di Malaysia. Dengan perpaduan penguasaan ekonomi yang dimiliki hampir disemua etnis, Malaysia bisa bangkit dengan kekuatan sendiri, tanpa tergantung utang luar negeri. Salah satu bukti kemajuan ekonomi rakyat Malaysia lebih nyata lagi, dapat diukur dari porsi ekonomi yang dikuasai warga Melayu –yang tadinya merupakan lapisan termiskin– saat ini melonjak dari 1,5 persen tahun 1970 menjadi 23 persen tahun 2003. Sedangkan equity korporasi meningkat dari 2,5 persen tahun 1970 menjadi 30 persen tahun 1990. Sekarang diperkirakan mendekati 40 persen.

Bagaimana dengan Indonesia?
Pemerintahan SBY-JK yang sudah berjalan 2,5 tahun lebih ternyata belum bisa bangkit dari warisan keterpurukan pemerintah sebelumnya. Untuk mampu keluar dari siklus kemiskinan, keterpurukan ekonomi dan permasalahan ketahanan keuangan dari spekulan internasional. Pemerintahan SBY-JK sebaiknya memiliki naluri yang sedikit lebih ekstrim untuk memberikan sedikit perlakuan yang lebih khusus terhadap masyarakat pribumi, seperti yang pernah dilakukan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Hal ini dalam rangka memberikan penguatan bagi masyarakat pribumi menguasai perekonomian Indonesia yang selama ini lebih banyak dikuasai oleh etnis Cina maupun kapitalis lainnya. Padahal selama krisis, jelas terbukti bahwa masyarakat pribumi inilah yang mau bertahan dan berusaha bangkit dari keterpurukan. Sedangkan etnis Cina yang memiliki modal kabur entah ke mana. Sehingga terjadi keguncangan modal yang luar biasa hebat.

Warisan krisis ekonomi Indonesia semenjak tahun 1997 yang lalu, bukan saja disebabkan oleh pemerintahan yang korup, melainkan adanya persekongkolan birokrasi dengan sekelompok etnis Cina menguasai keuangan Indonesia. Persekongkolan birokrasi dan pemodal dari etnis Cina ini telah menghancurkan perbankan nasional. Di sinilah awalnya, nilai mata uang rupiah jatuh pada titik nadir yang paling kritis, yakni mencapai US$1 mencapai Rp 16.000. Dalam kondisi seperti ini, mana pemodal Cina yang memiliki uang tersebut. Jawabannya, mereka ada di berbagai negara yang tidak mau melakukan hukum ekstradisi dengan Indonesia, seperti Singapura dan Hongkong. Mereka yang memiliki modal besar yang didapatkan dari pemerintahan melalui persekongkolan dengan birokrasi justru dilindungi di negara lain. Para pemodal Cina yang memiliki uang banyak tersebut lebih senang menyimpan uangnya di negara lain ketimbang menjadikan modal di negara Indonesia. Rasanya nasionalisme mereka memang sangat diragukan. Hanya sedikit sekali jumlah komunitas Cina yang benar-benar memiliki sifat kejuangan, nasionalisme yang tangguh seperti Mr Kwik Kian Gie, Alvin Lie, Marie E. Pangestu, dan tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia lainnya.

Sampai saat ini perekonomian Indonesia masih tetap saja dikuasai oleh sebagian pemodal yang berasal dari Cina. Perhatian pemerintah pun sangat luar biasa hebat, insentif kredit baik dalam skala makro maupun mikro begitu mudah didapatkan. Sedangkan bagi pribumi, apa yang terjadi? Untuk mendapatkan kredit mikro saja begitu susahnya, apalagi mendapatkan kredit makro yang jumlahnya bisa mengganggu keuangan secara nasional. Perlakuan istimewa bagi etnis Cina ini sudah lama terjadi di Indonesia. Untuk meningkatkan kemampuan ekonomi komunitas pribumi Indonesia, sebaiknya pemerintah SBY-JK memberikan stimulus ekonomi yangberimbang, dengan memberikan perlakuan yang sedikit lebih kepada masyarakat pribumi untuk menguasai infrastruktur ekonomi secara nasional. Tanpa dukungan pemerintah yang lebih, perekonomian etnis Cina pun yang ada di Indonesia akan tetap survive, karena mereka sudah establish dan memiliki modal yang kuat. Sedangkan dengan peningkatan penguasaan ekonomi makro maupun mikro oleh pribumi Indonesia akan memberikan dampak bagi penguatan persaingan berusaha secara seimbang. Kondisi ini jelas akan memberikan dampak bangkitnya perekonomian Indonesia menuju kemandirian, seperti yang dialami Malaysia saat ini. Jika terjadi konsisi yang luas biasa terhadap keuangan nasional, kita tidak kuatir pemodal pribumi akan siap mem-back up arus modal yang akan dibawa kabur pemodal asing yang tidak memiliki nasionalisme maupun nilai-nilai kebangsaan.

Penulis adalah anggota DPR-RI periode 2004-2009 dari Partai Bintang Reformasi daerah pemilihan Sumatera Barat I.

Harian TERBIT, Selasa, 20 Maret 2007, hal. 4. – SWARAMUSLIM.NET

Read Full Post »

MEMBAGI KERUGIAN

DALAM MUDHARABAH

Mudharabah adalah salah satu bentuk syarikah dalam jual beli. Islam telah
menghalalkan sistem muamalah ini. Dan Islam telah melegalkan seluruh bentuk
syarikah

SYARIKAH ADA DUA JENIS
Pertama : Syarikah Amlaak
Yaitu penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang bergerak
atau barang berharga. Yaitu pensyarikahan dua orang atau lebih yang dimiliki
melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk
syarikah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan
kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya.

Kedua : Syarikah Uquud
Yaitu perkongsian dalam transaksi, misalnya, dalam transaksi jual beli atau
lainnya. Bentuk syarikah seperti inilah yang hendak kami ulas dalam tulisan
kali ini. Dalam syarikah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak
menggunakan barang syarikah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini,
seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah
miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik
rekannya.

Syarikah Uquud ini, oleh para ahli fiqih dibagi menjadi lima bagian
[1]. Syariqah Inaan
Yaitu dua orang atau lebih yang bersyarikah dengan harta masing-masing untuk
dikelola oleh mereka sendiri, dan keuntungan dibagi di antara mereka, atau
salah seorang sebagai pengelola dan mendapat bagian lebih banyak dari
keuntungan, daripada rekannya.

[2]. Syarikah Mudharabah
Yaitu, seseorang sebagai pemodal menyerahkan sejumlah modal kepada pihak
pengelola untuk diperdagangkan, dan dia berhak mendapat bagian tertentu dari
keuntungan.

[3]. Sayrikah Wujuuh
Yaitu dua orang atau lebih yang bersyarikah terhadap keuntungan dari barang
dagangan yang mereka beli bersama tanpa modal. Pendapatan keuntungan dibagi
atas dasar kesepakatan di antara mereka.

[4]. Syarikah Abdaan
Yaitu dua orang atau lebih yang bersyarikah pada harta halal hasil usaha
mereka masing-masing. Atau bersyarikah pada harta yang mereka terima dari
jasa tenaga atau keahlian mereka.

[5]. Syarikah Mufaawadhah
Yaitu masing-masing pihak menyerahakn kuasa penuh atas setiap transaksi
materi maupun fisik, dalam bentuk jual beli dan dalam seluruh urusan mereka
tanpa menggabungkan ke dalamnya keuntungan atau hutang-piutang yang bersifat
pribadi. [1]

Dalam melakukan bentuk kerjasama ini, masing-masing harus menjaga sifat
amanah. Apalagi terjadi kecurangan dan penipuan dari salah satu pihak, maka
bentuk kerja sama ini batal dengan sendirinya. [2]

Pembahasan masalah syarikah ini sangat panjang. Namun dalam kesempatan kali
ini, kita memfokuskan pembicaraan pada salah satu bentuk syarikah, yaitu
syarikah mudharabah. Lebih khusus lagi, yakni berkaitan dengan masalah
kerugian yang terjadi dalam syarikah mudharabah ini.

Masalah : Pihak pemodal menyerahkan uangnya kepada pihak pengelola, lalu
terjadi kerugian dalam usaha tersebut sehingga menghabiskan uang milik
pemodal. Maka siapakah yang menanggung kerugian tersebut? Apakah pihak
pemodal atau pengelola atau keduanya?

Jawab : Ini adalah bentuk syarikah yang disebut mudharabah. Sebagian orang,
yakni penduduk Hijaz menyebutnya qiraadh. Orang-orang umum menyebutnya
dhimaar. Yaitu seseorang menyerahkan hartanya untuk dikelola oleh orang
lain. Satu pihak disebut pemodal, dan pihak lain disebut pengelola

Kerugian dalam syarikah seperti ini disebut wadhii’ah. Kerugian ini mutlak
menjadi tanggung jawab pemodal (pemilik harta), sama sekali bukan menjadi
tanggungan pihak pengelola. Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan
kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah
disepakati syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi
tenaga dan waktu yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan.

Pihak pemodal berhak mendapat keuntungan dari harta atau modal yang
dikeluarkannya, dan pihak pengelola mendapat keuntungan dari tenaga dan
waktu yang dikeluarkannya. Maka kerugian ditanggung pihak pemodal atau
pemilik harta. Adapun pihak pengelola, ia mendapat kerugian dari jasa dan
tenaga yang telah dikeluarkannya.

Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah
ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).

Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitab al-Mughni (V/183) mengatakan, “Kami
tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini”.

Pada bagian lain (V/148), al-Maqdisi mengatakan, kerugian dalam syarikah
mudharabah ditanggung secara khusus oleh pihak pemodal, bukan tanggungan
pihak pengelola. Karena wadii’ah, hakikatnya adalah kekurangan pada modal.
Dan ini, secara khusus menjadi urusan pemilik modal, bukan tanggungan pihak
pengelola. Kekurangan tersebut adalah kekurangan pada hartanya, bukan harta
orang lain. Kedua belah pihak bersyarikah dalam keuntungan yang diperoleh.

Seperti dalam kerja sama musaaqat dan muzaara’ah, dalam kerja sama ini, tuan
tanah atau pemilik pohon bersyarikah dengan pihak pengelola atau pekerja
dalam keuntungan yang dihasilkan dari kebun dan buah. Namun, jika terjadi
kerusakan pada pohon atau jatuh musibah atas tanah tersebut, misalnya
tenggelam atau musibah lainnya, maka pihak pengelola atau pekerja tidak
menanggung kerugian sekalipun.

Masalah : Akan tetapi bagaimana hukumnya bila pihak pengelola dan pihak
pemodal telah membuat syarat dan kesepakatan, bahwa kerugian yang diderita
dibagi dua atau sepertiga ditanggung pihak pengelola, dan selebihnya pihak
pemodal?

Jawab : Syarat dan kesepakatan seperti ini bertentangan dengan Kitabullah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan.

“Artinya : Mengapa sejumlah orang mengajukan syarat-syarat yang tidak ada
dalam Kitabullah? Barangsiapa mengajukan syarat yang tidak ada dalam
Kitabullah, maka tidak diterima, meskipun ia mengajukan seratus syarat”. [3]

Ibnu Qudamah al-Maqdisi menegaskan batalnya syarat-syarat ini, tanpa ada
perselisihan di kalangan ulama. [4] Ibnu Qudamah berkata, “Intinya, apabila
disyaratkan atas pihak pengelola tanggung jawab terhadap kerugian atau
mendapat bagian tanggungan dari wadhii’ah (kerugian), maka syarat itu
bathil. Kami mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini.

Barangkali para pemodal akan mengatakan : “Kalian para ulama telah membuka
pintu seluas-luasnya bagi para pengelola untuk mempermainkan uang kami.
Apabila kami menuntutnya, mereka mengatakan, ‘Kami mengalami kerugian”.

Kalau pengelola tadi adalah orang yang lemah iman; lemah imannya kepada hari
akhirat dan berani menjual agamanya dengan materi dunia, maka orang seperti
inilah yang berani mempermainkan harta kaum muslimin, lalu mereka bersumpah
telah mengalami kerugian. Kelonggaran ini bukanlah disebabkan fatwa dan
pendapat ahli ilmu. Kewajiban atas pemilik harta adalah, mencari orang yang
amanah agamanya dan ahli dalam pekerjaannya. Jika tidak menemukan orang
seperti ini, maka hendaklah ia menahan hartanya. Adapun ia serahkan hartanya
kepada orang yang tidak amanah dan tidak bisa mengelola lalu berkata, Ahli
Ilmu telah membuka pintu bagi pengelola untuk mempermainkan harta kami, maka
alasan seperti ini, sama sekali tidak bisa diterima.

Masalah : bolehkah pihak pengelola menanggung kerugian atas kerelaan
darinya, tanpa paksaan?

Jawaban : Apabila pihak pengelola turut menanggung kerugan atas kerelaan
darinya dan tanpa tekanan dari pihak manapun, maka hal itu dibolehkan,
bahkan itu termasuk akhlak yang terpuji. Wallahu ‘alam

Masalah : Bagaimana bila pada jual beli pertama mereka mendapat keuntungan,
lalu pada jual beli kedua mereka mendapat kerugian, apakah keuntungan pada
jual beli pertama dibagi dahulu, lalu kerugian pada jual beli kedua menjadi
tanggungan pihak pengelola? Ataukah keuntungan itu dipakai untuk menutupi
kerugian, lalu sisanya dibagi kemudian?

Jawab : Dalam kasus seperti ini, keuntungan harus digunakan lebih dulu untuk
menutupi kerugian. Jika keuntungan tersebut masih tersisa setelah modal
ditutupi, maka baru kemudian dibagi kepada pihak pengelola dan pihak pemodal
menurut kesepakatan mereka. Demikian yang dijelaskan oleh para ulama.

Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (V/169) mengatakan :”Masalah, pihak
pengelola tidak berhak mengambil keuntungan hingga ia menyerahkan modal
kepada pihak pemodal. Apabila dalam usaha terjadi kerugian dan keuntungan,
maka kerugian ditutupi dengan keuntungan. Baik kerugian dan keuntungan itu
diperoleh dalam satu transaksi, ataupun kerugian terjadi pada transaksi
pertama, lalu keuntungan dihasilkan pada transaksi berikutnya. Karena
keuntungan itu hakikatnya adalah, sesuatu yang lebih dari modal dasar. Dan
apabila tidak lebih, maka belum dihitung sebagai keuntungan. Kami tidak
mengetahui adanya perselisihan pendapat di kalangan dalam masalah ini”.

Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir dalam kitab al-Ijma (halaman
112 nomor 534). Beliau rahimahullah berkata :”Para ulama sepakat, bahwa
pembagian keuntungn (itu) dibolehkan, apabila pihak pemodal telah mengambil
modalnya”.

Hanya saja Ibnu Hazm menyebutkan dalam kitab Maraatibul Ijma, halaman 93,
baha para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun kesimpulanya,
pendapat yang kuat adalah yang telah kita jelaskan diatas.

Apabila keuntungan telah dihitung dan dibagikan, dan masing-masing pihak
telah mengambil bagian dari keuntungan, lalau setelah itu terjadi kerugian,
maka dalam kasus ini, pihak pengelola tidak berhak memaksa pihak pemodal
untuk menutupi kerugian dan keuntungan yang telah dibagikan, sudah menjadi,
hak masing-masing. Wallahu ‘alam

Masalah : Bagaimana bila pihak pengelola melanggar syarat atau melakukan
kesalahan prosedur dalam usaha sehingga menyebabkan kerugian?

Jawab : Kerugian tersebut menjadi tanggungan pihak pengelola yang telah
melanggar persyaratan yang telah disepakati, atau melakukan kelalaian, atau
kesalahan prosedur. Sejumlah ahli ilmu telah menyebutkan kesepakatan ulama
dalam masalah ini, di antaranya adalah Ibnu Hazm dalam kitab Maraatibul Ijma
(hal. 93), dan Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma (hal.112 nomor 535). Namun Ibnu
Abi Syaibah menukil dalam Mushannaf-nya (IV/402-403) dari Az-Zuhri
rahimahullah, bahwa beliau menyelisihi ijma’ ini. Demikian pula atsar dari
Thawus dan Al-Hasan.

Ibnu Qudamah mengatakan dalam Al-Mughni (VII/162) : “Apabila pihak pengelola
melakukan pelanggaran prosedur, atau melakukan sesuatu yang tidak boleh
dilakukannya, atau membeli sesuatu yang dilarang untuk dibeli, maka ia
bertanggung jawab terhadap harta tersebut. Demikianlah menurut pendapat
mayoritas ahli ilmu”.

Namun pendapat yang kuat adalah, pihak pengelola bertanggung jawab atas
kerugian tersebut, jika ia melanggar syarat. Karena seorang mukmin wajib
memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Kaum muslimin harus menepati syarat-syarat yang telah mereka
sepakati, kecuali syarat yang mehalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal”,

Masalah : Namun, bagaimana jika pihak pengelola melanggar syarat, akan
tetapi ia mendapat keuntungan?

Jawab : Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa keuntungan merupakan hak
pemilik modal. Karena harta itu merupakan hartanya. Sebagian ahli ilmu
lainnya berpendapat, bahwa keuntungan menjadi hak pengelola. Karena dialah
yang bertanggung jawab apabila terjadi kerugian. Ada pula ulama yang
berpendapat, bahwa keuntungan itu menjadi harta sedekah, diberikan kepada
fakir miskin. Ada yang berpendapat, keuntungan diserahkan kepada pemodal.
Adapun si pengelola berhak memperoleh uang jasa yang setimpal. Ada pula yang
berpendapat, keuntungan tersebut dibagi menurut kesepakatan merka berdua.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
sebagaimana tersebut di dalam Majmu Fatawa (XXX/86-87). Wallahu a’lam

Masalah : Bolehkah pihak pengelola mencampur modal tersebut dengan hartanya?
Bagaimana bila itu terjadi ?

Jawab : Ibnu Qudamah di dalam kitab Al-Mughni (VII/158) menjelaskan, pihak
pengelola tidak boleh mencampur modal mudharabah dengan hartanya. Jika ia
melakukan itu, lalu ia tidak bisa memilah mana hartanya dan mana modal
mudharabah, maka ia menanggung kerugian yang mungkin terjadi karenanya.
Karena ia yang diberi amanah, (dan) modal tersebut ibarat wadhi’ah (barang
titipan)”.

Masalah : Bagaimana bila masih bersisa dari harta mudharabah, bolehkah pihak
pengelola mengambilnya?

Jawab : Apabila pihak pengelola mendapati di tangannya masih tersisa harta
mudharabah, maka ia tidak boleh mengambilnya, kecuali dengan izin pihak
pemodal.

Ibnu Qudamah mejelaskan dalam kitab Al-Mughni (VII/171). Intinya, apabila
terlihat keuntungan pada harta mudharabah, maka pihak pengelola tidak boleh
mengambilnya tanpa seizin pihak pemodal. Kami tidak mengetahui adanya
perselisihan di kalangan ulama dalam masalah ini. Pihak pengelola tidak
berhak mengambilnya karena tiga alasan.

Pertama : Keuntungan digunakan untuk menutupi modal dasar, masih terbuka
kemungkinan keuntungan tersebut dipakai untuk menutupi kerugian. Sehingga
belum bisa disebut sebagai keuntungan.

Kedua : Pemilik modal –dalam hal ini- mitra bisnisnya, dia tidak boleh
memotong haknya sebelum pembagian.

Ketiga : Kepemilikan atas keuntungan itu belum tetap, karena bisa saja
keuntungan tersebut diambil kembali untuk menutupi kerugian. Namun, apabila
pemilik modal mengizinkannya maka ia boleh mengambilnya.karena harta
tersebut merupakan hak mereka berdua, dan tidak akan keluar dari hak
keduanya.
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=2075

Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183]
_______
Maraji
[1]. Minhajus Salikin, SyaikhAbdurrahmanbin Nashir As-Sa’di
[2]. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
[3]. Taudhihul Ahkam, Al-Bassam
[4]. Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al-Asqalani
[5]. Silsilah Al-Fatawa ASy-Syar’iyyah, Abul Hasan Al-Ma’ribi
[6]. Mausu’ah Manaahi Syar’iyyah, Syakh Salim bin Id Al-Hilali

Read Full Post »

Mudharabah

RUKUN MUDHARABAH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=2072

Mudharabah, sebagaimana juga jenis pengelolaan usaha lainnya, memiliki tiga
rukun.

Pertama : Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu investor (pemilik modal) dan
pengelola (mudharib)
Kedua : Objek transaksi kerjasama, yaitu modal, usaha dan keuntungan.
Ketiga : Pelafalan perjanjian

Sedangkan Imam Asy-Syarbini di dalam Syarh Al-Minhaj menjelaskan, bahwa
rukun mudharabah ada lima, yaitu : Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan
transaksi dan dua pelaku transaksi [1]. Ini semua ditinjau dari
perinciannya, dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun diatas.

RUKUN PERTAMA : ADANYA DUA PELAKU ATAU LEBIH
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Pada
rukun pertama ini, keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz
al-tasharruf), dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rasyid
(normal) dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. [2]

Sebagian ulama mensyaratkan, keduanya harus muslim atau pengelola harus
muslim. Sebab, seorang muslim tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan riba
atau perkara haram. [3] Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal
tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat
dipercaya, dengan syarat harus terbukti adanya pematauan terhadap
pengelolaan modal dari pihak muslim, sehingga terbebas dari praktek riba dan
haram. [4]

[A]. Modal
Ada empat syarat modal yang harus dipenuhi.
[1]. Modal harus berupa alat tukar atau satuan mata uang (al-naqd). Dasarnya
adalah Ijma’. [5] atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut
pendapat yang rajih. [6]
[2]. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui. [7]
[3]. Modal diserahkan harus tertentu
[4]. Modal diserahkan kepada pihak pengelola, dan pengelola menerimanya
langsung, dan dapat beraktivitas dengannya. [8]

Jadi dalam mudharabah, modal yang diserahkan, disyaratkan harus diketahui.
Dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib (pengelola modal) harus berupa
alat tukar, seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak
diperbolehkan berupa barang, kecuali bila nilai tersebut dihitung
berdasarkan nilai mata uang ketika terjadi akan (transaksi), sehingga nilai
barang tersebut menjadi modal mudharabah.

Contohnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserhak kepada mudharib
(pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobil
tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya disepakati
Rp.80.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah Rp.80.000.000.

Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat, karena untuk menentukan pembagian
keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui
nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya,
seiring berjalannya waktu, sehingga dapat menimbulkan ketidak jelasan dalam
pembagian keuntungan.

[B]. Jenis Usaha
Jenis usaha disini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
[1]. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
[2]. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang
menyulitkannya. Misalnya, harus berdagang permata merah delima atau mutiara
yang sangat jarang sekali adanya. [9]
[3]. Asal dari usaha dalam mudharabah adalah di bidang perniagaan dan yang
terkait dengannya, serta tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang
mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram, seperti daging babi,
minuman keras dan sebagainya. [10]
[4]. Pembatasan waktu penanaman modal. Menurut pendapat madzhab Hambaliyah,
dalam kerja sama penanaman modal ini, dipebolehkan membatasi waktu usaha,
[11] dengan dasar diqiyaskan (dianalogikan) dengan system sponsorship pada
satu sisi, dan dengan berbagai criteria lain yang dibolehkan, pada sisi
lainnya. [12]

[C]. Keuntungan
Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Demikian
juga dengan mudharabah. Namun dalam mudharabah pendapatan keuntungan itu
disyaratkan dengan empat syarat.
[1]. Keuntungan, khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama, ayitu pemilik
modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya sebagian keuntungan
disyaratkan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan “Mudharabah
dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 keuntungan untukku dan 1/3 lagi
untuk isteriku atau orang lain”, maka tidak sah, kecuali disyaratkan pihak
ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiradh bersama dua
orang. [13] Seandainya dikatakan “Seapruh keuntungan untukku dan sepruhnya
untukmu, namun separuh dari bagianku untuk isteriku”, maka ini sah, karena
ini akad janji hadiah kepada isteri. [14]
[2]. Pembagian keuntungan untuk berdua, tidak boleh hanya untuk satu pihak
saja. Seandainya dikatakan : “Saya bekerja sama mudharabah denganmu, dengan
keuntungan sepenuhnya untukmu”, maka yang demikian ini menurut madzhab
Syafi’i tidak sah. [15]
[3]. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
[4]. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik
modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi sebagaimana
telah ditentukan prosentasenya, seperti : setengah, sepertiga atau
seperempat. [16] Apabila ditentukan nilainya, contohnya jika dikatakan,
“Kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta,
dan sisanya untukku”, maka akad mudharabah demikian ini tidak sah. Demikian
juga bila tidak jelas prosentasenya, seperti “Sebagian untukmu dan sebagian
lainnya untukku”.

Adapun Dalam Pembagian Keuntungan Perlu Sekali Melihat Hal-Hal Berikut.
[1]. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian
hanya ditanggung pemilik modal. [17]

Ibnu Qudamah di dalam Syrahul Kabir menyatakan, keuntungan sesuai dengan
kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan pernyataan, maksudnya, dalam
seluruh jenis sayrikah. Hal itu tidak terdapat perselisihan dalam mudharabah
murni.

Ibnu Mundzir menyatakan, para ulama bersepakat, bahwa pengelola berhak
memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½, atau sesuai
kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk
prosentase. [18]

[2]. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungannya.
Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut, maka pengelola mendapatkan
gaji yang umum, dan seluruh keuntungan merupakan milik pemilik modal
(investor). [18]

Ibnu Qudamah menyatakan, di antara syarat sah mudharabah adalah, penentuan
bagian (bagian) pengelola modal, karena ia berhak mendapatkan keuntungan
dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya
dikatakan “ambil harta ini secara mudharabah” dan ketika akan tidak
dsiebutkan bagian untuk pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka
keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal. Demikian pula kerugian ditanggung
oleh pemilik modal. Adapun pengelola modal, ia mendapatkan gaji sebagaimana
umumnya. Inilah pendapat Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan
Ashab Ar-Ra’i (Hanafiyah). [20]. Ibnu Qudamah merajihkan pendapat ini.

[3]. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan
kembali modal secara sempurna. Berarti, tidak seorangpun berhak mengambil
bagian keuntungan sampai modal diserahkan kepada pemilik modal. Apabila ada
kerugian dan keuntungan, maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut,
baik kerugian dan keuntungan dalam satu kali, atau kerugian dalam satu
perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya. Atau yang satu dalam
satu perjalnan niaga, dan yang lainnya dari perjalanan lain. Karena makna
keuntungan adalah, kelebihan dari modal. Dan yang tidak ada kelebihannya,
maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini. [21]

[4]. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan, kecuali apabila
kedua pihak saling ridha dan sepakat. [22]

Ibnu Qudamah menyatakan, jika dalam mudharabah tampak adanya keuntungan,
maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik
modal. Dalam masalah ini, kami tidak menemukan adanya perbedaan di antara
para ulama.

Tidak Dapat Melakukannya Karena Tiga Hal
[a]. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak
adanya kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut, sehingga
berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan.
[b]. Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki
hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
[c]. Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap karena mungkin sekali keluar
dari tangannya untuk menutupi kerugian.

Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka
diperbolehkan karena hak tersebut milik mereka berdua. [23]

[5]. Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak
sebelum dilakukan perhitungan akhir atas usaha tersebut.
Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang
dibagikan bersifat tidak tetap, sebelum berakhirnya pernjanjian dan sebelum
seluruh usaha bersama tersebut dihitung. Adapun sebelum itu, keuntungan yang
dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi
kerugian yang bisa saja terjadi di kemudian, sebelum dilakukan perhitungan
akhir.

Perhitungan Akhir Untuk Menetapkan Hak Kepemilikan Keuntungan, Aplikasinya
Bisa Dua Macam.
[a]. Perhitungannya di akhir usaha. Dengan cara ini, pemilik modal bisa
menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua
belah pihak.
[b]. Finish Cleansing terhadap kalkulasi keuntungan.Yakni dengan cara asset
yang dimilikinya dituangkan terlebih dahulu, lalu menetapkan nilainya secara
kalkulatif. Apabila pemilik modal mau, maka dia bisa mengambilnya. Tetapi
kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usha
baru, bukan meneruskan usaha yang lalu. [24]

RUKUN KETIGA : PELAFALAN PERJANJIAN (SHIGHAH TRANSAKSI)
Shighah adalah, ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku
transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari
ijab qabul

Transaksi mudharabah atau syarikah dianggap sah dengan perkataan dan
perbuatan yang menunjukkan maksudnya. [25]

Demikian rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam kerja sama mudharabah, yang
semestinya dipahami secara bersama oleh masing-masing pihak. Sehingga
terbangunlah mua’amalah yang shahih dan terhindar dari sifat merugikan pihak
lain. Wallahu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Takmilah al-Majmu Syarhu al-Muhadzab Imam an-Nawawi, oleh
Muhammad Najib al-muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu Syarhu
al-Muhadzab (15/148).
[2]. Al-Fiqh Al-Muyassar, Bagian Fiqih Mu’amalah karya Prof Dr Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar. Prof Dr Abdullah bin Muhammad al-Muthliq dan Dr
Muhammad bin Ibrahim Alimusaa, Cetakan Pertama, Th 1425H, hal. 169
[3]. Lihat al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nadzariyat wa Tathbiq, karya Prof
Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar., Cetakan Kedua, Th 1414H, Muassasah
al-Jurais, Riyadh, KSA, hal. 123
[4]. Lihat kitab Ma’la Yasa’u at_tajir Jahluhu, karya Prof.Dr Abdullah
al-Mushlih dan Prof.Dr Shalah ash-Shawi. Telah diterjemahkan dalam edisi
bahasa Indonesia, oleh Abu Umar Basyir, dengan judul Fiqih Ekonomi Islam,
Penerbit Darul Haq, Jakarta, Hal. 173
[5]. Lihat Maratib al-Ijma, karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan,
Penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Beirut, hal.92 dan Takmilah al-Majmu, op,
cit (15/143)
[6]. Pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhu
al-Mumti, op.cit (4/258)
[7]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit hal.123 dan Takmilah al-Majmu op.cit(15/144)
[8]. Takmilah al-Mjamu, op.cit. (15/145)
[9]. Ibid (15/146-147)
[10]. Lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit. hal.176
[11]. Al-Mughni,karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin
at-turki, Cetakan Kedua, Tahun 1412H, Penerbit Hajr, (7/177)
[12]. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, op. cit.177
[13]. Lihat Juga al-mughni, op.cit (7/144)
[14]. Takmilah al-Majmu, op.cit. (15/160)
[15]. Inid (15/159)
[16]. Lihat Maratib al-Ijma, op.cit.hal.92, asy-Syarhu al-Mumti, op.cit.
(4/259) dan Takmilah al-Majmu.op.cit. (15/159-160).
[17]. Masalah kerugian lihat artikel “Membagi Kerugian Dalam Mudharabah”.
[18]. Al-Mughn, op.cit. (7/138)
[19]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit.hal.123
[20]. Al-Mughni, op.cit. (7/140)
[21]. Ibid (7/165)
[22]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit. 123
[23]. Al-Mughni, op.cit. (7/172)
[24]. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit, hal. 181-182
[25]. Al-Fiqh Al-Muyassar, op.cit, hal. 169

 

Read Full Post »

Older Posts »