Mendiskreditkan Umat Islam
Untold Story / the X files Oleh : Redaksi 16 Mar 2007 – 5:00 pm
Risalah Mujahidin Edisi 6 Th. I Saffar 1428 H (Maret 2007 M), hal. 13-23.
SIKAP brutal dan tidak profesional aparat kepolisian kembali terlihat di Poso. Anggota Densus 88 dan Brimob, yang selama ini menghantui kehidupan warga muslim Poso, kembali beraksi menunjukkan keberingasannya. Kebijakan yang dijalankan polri khususnya sebagaimana dijalankan Densus 88, sangat bermuatan kepentingan kaum nashara.
Densus 88 dibentuk untuk memenuhi kepentingan politik Bush (AS) dengan dalih memerangi terorisme internasional. Anggota Densus 88 selain digaji pemerintah juga mendapat tambahan gaji dari CIA. Jadi, lebih tegas kelihatan Densus 88 bekerja bukan untuk kepentingan anak bangsa, melainkan untuk memenuhi syahwat politik dan ideologis Bush (AS). Makanya, petinggi Densus 88 akan selalu dijabat oleh orang nashara, sementara prajurit rendahannya sudah pasti mayoritas beragama Islam. Salah satu syahwat politik dan ideologis Bush adalah mempersatukan kembali dunia Kristen untuk melawan “Poros Setan” Muslim.
Cita-cita ini selain mendapat dukungan dari Paus Benedictus XVI juga oleh Gloria Macapagal Arroyo (presiden Filipina). Sebagaimana pernah diungkap, Arroyo Arroyo pernah mengusulkan kepada Bush untuk membentuk ALIANSI KRISTEN di Asia Tenggara dan Asia Pasifik, tentunya termasuk Indonesia, yang menurut dokumen itu, akan dimasuki melalui pintu Poso dan Ambon, dengan memanfaatkan konflik yang terjadi.
Boleh jadi, konflik Poso yang kini berkembang dari konflik horizontal (antara warga Muslim dengan Kristen) menjadi konflik vertikal (antara Muslim dengan aparat), merupakan bagian dari upaya mewujudkan cita-cita tadi. Pihak Kristen jelas tidak rugi apa-apa. Kalau toh jatuh korban dari pihak warga, maka mereka itu adalah warga Muslim. Begitu juga bila jatuh korban dari pihak aparat, maka aparat itu juga orang Islam. Seperti Bripda Ronny Iskandar (kemudian naik pangkat menjadi Briptu anumerta). Ronny tertembak pada bagian pipi kiri dan peluru tembus sampai kepala sebelah kanan bagian belakang. Sebelumnya, Bripda Dedy Hendra tewas dihakimi massa hingga tewas. Dedy melintas dengan sepeda motor melewati sejumlah massa yang baru saja mengantar pemakaman Ustadz Riansyah salah satu korban tewas pasca penyergapan 11 Januari 2007.
Sebelum penyergapan 11 Jan 2007 ini, pada 23 Oktober 2006 (Idul Fitri 1427 H), aparat kepolisian melakukan pengepungan di kompleks Pesantren Amanah di Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo, untuk menangkap tersangka DPO yang dicurigai bersembunyi di sini. Hasilnya, seorang warga sipil di Poso terbunuh akibat terkena peluru senjata api.
Sikap pemerintah dan aparat keamanan sangat tidak adil. Mereka sangat tegas (biadab) terhadap warga muslim Poso, seolah-olah hanya warga Muslim saja yang memiliki senjata api. Padahal, laskar Kristen di sana juga memiliki senjata api dan amunisi. Logikanya, jika hanya warga muslim Poso saja yang memiliki senjata api dan amunisi, sudah pasti warga Kristen sudah habis sejak lama.
Donatur Kristen
Warga Kristen Poso, selain memiliki senjata api dan amunisi, mereka mendapat dukungan finansial dan moral dari Gereja. Jangan juga dilupakan keterlibatan Melly, istri kedua konglomerat Taipan terkenal Eka Tjipta Wijaya (konglomerat Sinar Mas group), yang pada awal-awal konflik Poso bergulir disebut-sebut sebagai salah seorang pemasok dana untuk pihak Kristen. Sepekan sebelum terjadi pembantaian terhadap warga muslim (termasuk pembantaian yang dilakukan Tibo dkk terhadap 200 warga Pesantren Walisongo) Mei 2000, warga setempat melihat dua buah helikopter terbang rendah ke arah Tentena. Hari itu sekitar pukul 10:00 waktu setempat. Rupanya, helikopter itu membawa Melly bersama rombongan antara lain dua orang wanita dan seorang bule asal Belanda. Rombongan itu dibawa dengan mobil ke Debua, lalu ke Sangginora Poso Pesisir. Di sana Melly wanita kelahiran Malei Poso ini, menemui massanya. Kedatangan ibunda pengusaha Jimmy Wijaya itu ke Sangginora diembeli dalih mau mencari “anak tunggal”.
Sikap Kalla yang berat sebelah, sudah jelas karena ada motif bisnis: Kalla punya saham di sebuah megaproyek senilai tiga trilyun rupiah di Tentena, kota basis Kristen di dekat Danau Poso.
Kronologi Januari Berdarah
Pada Kamis 11 Januari 2007, sekitar pukul Pukul 06.00 WITA, Densus 88 dan dua SSK Brimob Sulteng menggeledah rumah Basri (DPO) di Jl Pulau Jawa II Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota. Karena tak menemukan orang yang dicari, aparat melanjutkan pencarian ke rumah Yadit (DPO) yang terletak sekitar 50 meter meter dari rumah Basri. Di rumah Yadit, aparat menemukan Dedi Parshan (DPO) yang sedang tertidur.
Pukul 6.30 WITA, Dedi yang berusaha melarikan diri tewas dengan rentetan tembakan di bagian lengan kanan dan kiri dan terlihat luka tusukan di dada. Sekitar 300 m dari rumah Yadit, tepatnya di pesantren Al Amanah, Tanah Runtuh, ratusan polisi mengepung dan menembak mati ustadz Riansyah di bagian kepala. Sementara ustadz Ibnu yang juga pengajar pesantren Al Amanah, luka tertembak di bagian perut dan punggung.
Penyergapan melibatkan dua tim CRT (Cepat Reaksi Tanggap) Polres Poso, diperkuat dua SSK (Satuan Setingkat Kompi) anggota Brimob Polda Sulteng. Hasilnya, lima dari 29 warga yang ditetapkan dalam DPO itu ditangkap. Mereka adalah Dedi Parshan (28), Anang Muhtadin alias Papa Enal (40), Upik alias Pagar (22), Paiman alias Sarjono (33), dan Abdul Muis (25). Anang, Upik dan Muis mengalami luka tembak di beberapa bagian tubuh mereka.
Kematian Ustadz Riansyah membuat warga marah. Bripda Dedy Hendra anggota Polmas (Polisi Masyarakat) di Kelurahan Tegal Rejo yang mengendarai sepeda motor seorang diri, melntas di TPU Lawanga saat prosesi pemakanan terhadap Ustadz Riansyah berlangsung. Puluhan pelayat yang masih tersulut emosi akibat kematian Ustadz Riansyah segera melakukan pencegatan. Dedi dihakimi hingga tewas di tempat. Jenazah Bripda Dedy Hendra setelah disemayamkan di Mapolres Poso, diterbangkan ke Bandung (Jawa Barat) pada Jumat pagi (12 Jan 2007) menggunakan pesawat khusus milik Polri.
Sebelumnya, November 2006 lalu, sudah ada tiga dari 29 DPO yang menyerahkan diri. Pada Selasa 14 Nov 2006, Andi Lalu alias Andi Bocor menyerahkan diri. Setelah diperiksa tiga hari, Andi dilepas. Dua pekan kemudian, Selasa 28 Nov 2006 Iskandar alias Ateng Marjo dan Nasir menyerahkan diri ke Kepolisian Resor Poso.
Dengan demikian, sejak November 2006 hingga 11 Januari 2007, sudah ada 8 dari 29 DPO yang berhasil diamankan aparat.
Minggu malam (14 Jan 2007) hingga Senin dini hari (15 Jan 2007), terjadi ketegangan antara anggota polisi dengan sekelompok warga. Maka, pengamanan diperketat dengan menyebar pasukan dalam jumlah yang lebih banyak di titik-titik strategis. Belasan anggota polisi bersenjata lengkap disiagakan di ruas-ruas jalan utama dalam kota Poso, padahal pada hari biasanya jumlah anggota polisi yang disiagakan kurang dari lima orang. Selain itu, puluhan kendaraan taktis berisi pasukan bersenjata juga mengintensifkan patroli dalam kota Poso. Beberapa kendaraan taktis diparkir di ruas-ruas jalan yang dinilai rawan seperti di Jalan Pulau Bali, Pulau Serang, Pulau Irian dan Pulau Sumatera.
Senin sore (15 Jan 2007), aparat keamanan di kota Poso kembali bersitegang dengan sekelompok warga di Jalan Pulau Irian Kelurahan Gebang Rejo. Warga Jalan Pulau Irian mulai terkonsentrasi sejak pukul 15:00 Wita, saat polisi meningkatkan pengamanan dengan mengerahkan beberapa kendaraan taktis ke kawasan tersebut. Sekitar pukul 18:15 Wita, mulai terdengar rentetan letusan senjata api disertai bunyi tiang listrik dipukul-pukul membuat sebahagian warga berlarian menuju arah Jalan Pulau Irian. Suara letusan senjata api dan dentuman tiang listrik terdengar hingga pukul 19:00 Wita, bahkan sesekali terdengar suara ledakan keras yang diduga kuat bersumber dari bom rakitan di sekitar Kelurahan Gebang Rejo dan Kelurahan Kayamanya. Aliran listrik di Jalan Pulau Sumatera sempat padam, sementara warga di Jalan Pulau Irian, Jalan Pulau Jawa dan Jalan Pulau Madura sengaja memadamkan aliran listrik. Sekelompok warga di ketiga jalan yang berada dalam wilayah Kelurahan Gebang Rejo ini juga membuat blokade di ruas jalan dengan menaruh benda-benda keras seperti batu, kayu dan drum. Hingga pukul 22.00 wita suara tembakan belum mereda. Tidak ada korban jiwa.
Hingga Selasa siang (16 Jan 2007), situasi tegang dan mencekam masih terus dirasakan. Penyerangan atas Polres Poso oleh sekelompok waga berlangsung semalam suntuk, menggunakan berbagai jenis senjata api, termasuk bom.
Tembak di Tempat
Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen Pol Drs Badrodin Haiti, mengeluarkan maklumat tertanggal 16 Januari 2007, berisi perintah antara lain melakukan tindakan tegas hingga tembak di tempat kepada siapa pun yang memiliki, menyimpan, atau membawa senpi dan bahan peledak tanpa otoritas yang sah. Menurut Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP M Kilat, masyarakat yang memiliki, menguasai atau menyimpan senpi, amunisi, serta bahan peledak dengan tanpa hak juga diminta untuk segera menyerahkan kepada aparat berwajib secara sukarela. Dasar dikeluarkannya maklumat tersebut sudah jelas antara lain UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU No 12 Tahun 1952 tentang senjata api dan bahan peledak. Juga, Peraturan Polda Sulteng Tahun 2006 tentang batas akhir penyerahan senpi, amunisi dan bahan peledak secara sukarela di wilayah Sulteng.
Maklumat tersebut mendapat kecaman dari Ketua BMMP (Barisan Muda Muslim Poso) Drs Zulkifli Kay, yang menilai maklumat itu terlalu berlebihan. Kay juga mengatakan, maklumat tembak di tempat memberi kesan telah terjadi konflik terbuka dengan eskalasi yang luas, sehingga membuat situasi keamanan di Poso tidak terkendali.
Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Sisno Adiwinoto, sehubungan dengan maklumat tersebut menyatakan, di dalam prosedur Polri tidak dikenal istilah tembak di tempat. Setiap anggota polisi, telah dibekali pengetahuan kapan saatnya dapat menggunakan senjata apinya. Tanpa perintah tembak di tempat, setiap anggota polisi harus tahu kapan tepatnya harus menarik pelatuk senjata apinya. Dengan keluarnya perintah itu, kalau terjadi sesuatu yang berakibat hukum dan harus berhadapan dengan divisi propam, merupakan risiko Kapolda Sulteng.
Kamis pagi tanggal 18 Januari 2007, sebuah bom hampa berdaya ledak rendah meledak di Jalan Pulau Sumbawa Kelurahan Gebang Rejo kota Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng). Bom meledak sekitar pukul 09:20 Wita di dalam saluran air, tepatnya di belakang Kantor PT Bank Sulteng Cabang Poso atau sekitar 100 meter dari Mapolres Poso dan Pasar Sentral Poso yang terletak di Jalan Pulau Sumatera. Kapolres Poso AKBP Drs Rudi Sufahriadi mengatakan, bom jenis low explosive itu terbuat dari (casing) botol air mineral dengan bahan sulfur dan florat. Pelakunya diduga dari kelompok yang selama ini menjadi buron polisi dengan ciri-ciri rambut gondrong dan berpostur tinggi besar. Tidak ada korban jiwa, hanya sempat membuat kaget sebagian pedagang dan pengunjung di Pasar Sentral Poso. Aktivitas masyarakat secara umum berlangsung normal.
Kamis malam tanggal 18 Januari 2007, terjadi ledakan bom di dua tempat. Ledakan pertama terjadi di Jalan Pulau Aru, Kelurahan Gebang Rejo sekitar pukul 18:00 Wita, tepatnya di belakang Gereja Eklesia, Poso. Ledakan tersebut sempat membuat warga di sekitar gereja panik meski tidak ada korban jiwa. Ledakan kedua terjadi di Jalan Pulau Sumatera sekitar pukul 22:30 Wita yang berlokasi di depan Pasar Sentral Poso. Lokasi ledakan tersebut hanya berjarak sekitar 100 meter dari Mapolres Poso. Ledakan kedua membuat aktivitas jual beli di pasar terganggu. Para penjual dan pembeli memutuskan pulang lebih awal untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Kedua ledakan tersebut tidak menimbulkan korban jiwa hanya sempat membuat panik beberapa warga di sekitar lokasi.
Sabtu, 20 Januari 2007 sekitar pukul 13:30 Wita, ditemukan sebuah bom rakitan ukuran panjang sekitar 15 centimeter dengan diameter berkisar lima centimeter, di pinggiran jalan bagian depan Gereja Advent di Kelurahan Kasintuwu, Poso Kota, Sulawesi Tengah (Sulteng). Menurut Kapolres Poso AKBP Drs Rudi Sufahriadi, bom aktif yang belum meledak dan berada dalam kantong plastik berwarna hitam itu berhasil diamankan petugas Jihandak, dan segera dibawa dengan mobil khusus ke Markas Brimob Polda Sulteng di Kelurahan Moengko untuk diledakkan.
Senin 22 Januari 2007, situasi kota Poso memanas sejak sekitar pukul 08:30 Wita, terdengar suara rentetan tembakan di Jalan Pulau Irian Kelurahan Gebang Rejo, Poso Kota. Hasilnya, dua warga Poso bernama Paijo (40) dan Kusno (35) mengalami luka tembak karena peluru nyasar akibat peristiwa baku tembak antara pihak kepolisian dan para Daftar Pencarian Orang (DPO) Poso di Jalan Irian, Poso Kota. Paijo yang berprofesi sebagai tukang ojek menderita luka tembak di lengan kiri bagian atas sedangkan Kusno (penjual bakso) menderita luka tembak di kepala bagian atas, keduanya sempat mengalami perawatan di RSUD Poso. Menurut Kabid Humas Polda Sulteng AKBP M Kilat SH MH, anggota kepolisian Ipda Maslikan menderita luka tembak di bagian paha, dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Palu, Sulawesi Tengah.
Dibunuh Densus 88
Bentrokan antara aparat dengan warga yang terjadi 22 Januari 207 sekitar pukul 07.30 WITA hingga 16.00 WITA, berlangsung di beberapa lokasi, yaitu Jalan Pulau Nias, Jalan Pulau Sabang, Jalan Pulau Mentawai di Kelurahan Kayamanya. Di Kelurahan Gebang Rejo tersebar di Jalan Pulau Kalimantan, Pulau Irian, Pulau Seribu, Pulau Seram, dan Pulau Jawa. Serta di perbukitan hutan jati yang berada di perbatasan Kelurahan Gebang Rejo dan Desa Lembomawo. Dari bentrokan ini jatuh korban tewas antara lain Ustadz Mahmud, Ustadz Yakub, Ustadz Idrus, dan seorang warga yang akrab disapa Om Gam.
Insiden bakutembak di Jalan Pulau Kalimantan Kelurahan Gebang Rejo mengakibatkan empat anggota Brimob terkena peluru senjata api, seorang di antaranya bernama Bripda Rony Iskandar tewas dengan luka tembak di bagian kepala. Pangkat Ronny dinaikkan menjadi Briptu anumerta. Sedangkan sedangkan korban luka selain Ipda Muslihan, juga Bripda I Wayan Panda (anggota Brimob), Bripda Wahid, Brigadir Dudung Adi (anggota Brimob), Brigadir Kosmas (anggota CRT Mabes Polri). Rony adalah anggota Brimob yang di-BKO di Densus 88 Anti Teror Polda Sulteng. Sedangkan Muslihan adalah anggota Densus 88, dan Bripda Wahid adalah anggota Brimob Sulteng. Menurut Kabid Humas Polda Sulteng AKBP Muhammad Kilat, Selasa 23 Jan 2007, korban tewas dari kelompok bersenjata berjumlah 13 orang.
Identitas 13 korban tewas itu adalah Tengku Irsan alias Icang, Ridwan alias Duan, Firmansyah alias Firman (Siswa MTs Negeri Poso) luka tembak di bagian perut, Nurgam alias Om Gam (luka tembak di bagian kepala), Idrus Asapa, Toto, Yusuf, Muh Sapri alias Andreas, Aprianto alias Mumin, Hiban, Huma, Sudarsono, dan Ridwan Wahab alias Gunawan, Ustadz Mahmud (luka tembak di kepala).
Dari 13 anggota kelompok bersenjata yang tewas hanya satu orang yang masuk dalam DPO, yaitu Icang. Tengku Firsan alias Icang, diduga aparat sebagai perakit hampir semua bom yang diledakkan di Poso dan Palu. Icang juga diduga aparat terlibat peledakan bom di Pasar Sentral Poso, peledakan bom di Pasar Maesa, Palu, dan penembakan lima anggota Brimob di Ambon pada tahun 2005.
Selasa 23 Januari 2007, menurut Kadiv Humas Polri Irjen Sisno Adiwinoto, tiga orang yang masuk dalam DPO menyerahkan diri. Mereka adalah Iswadi alias Is, Yasin alias Utomo, dan Faizul alias Takub. Sementara itu, sebanyak dua SSK (Satuan Setingkat Kompi) anggota Brimob Kelapa Dua Jakarta dikerahkan ke Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), untuk memperkuat pengamanan di wilayah yang sepekan terakhir kembali memanas. Pasukan elit Polri ini dipimpin Kompol Gatot selaku Kepala Detasemen serta AKP Muhammad Tedjo dan Iptu Iwan masing-masing sebagai Komandan Kompi. Sebelumnya sudah ada sembilan SSK pasukan Brimob kiriman yang di BKO (Bawah Kendali Operasi)-kan di Mapolres Poso. Dengan demikian total seluruh pasukan Brimob BKO di daerah konflik itu sebanyak 11 SSK atau sekitar 1.100 personil. Sedangkan jumlah personil Polisi dan TNI organik maupun nonorganik di Poso, termasuk di Kabupaten Tojo Unauna dan Morowali (daerah pemekaran Poso) berkisar 5.000 orang.
Pada 1 Februari 2007, Komnas HAM memutuskan bahwa penyerangan oleh aparat Densus 88 dan Brimob BKO terhadap 29 DPO pada tanggal 11 dan 22 Januari 2007 yang menewaskan 15 orang warga sipil melanggar HAM berat karena menghilangkan rasa aman warga sipil.
Komentar Ahli
Koordinator Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Usman Hamid menilai tindakan Polri dalam penyergapan 11 Jan 2007 lalu, berlebihan. Usman menyesalkan penangkapan polisi terhadap tersangka dalam daftar pencarian orang (DPO) Poso yang menggunakan kekerasan berlebihan. Cara ini tak menunjukkan jati diri Polri yang seharusnya mengedepankan persuasif. Kekerasan bersenjata justru menunjukkan doktrin militerisme masih melekat.
Menurut Usman, ada empat pedoman Polri dalam penggunaan senjata. Pertama, untuk bela diri dari kemungkinan kematian atau luka yang nyata. Kedua, tersangka mengancam keselamatan orang lain. Ketiga, tersangka melakukan perlawanan yang membahayakan polisi. Namun penindakan tidak dengan kekuatan berlebihan. Keempat, untuk mencegah tersangka melarikan diri. Polisi seharusnya melumpuhkan, bukan membunuh seperti tentara. Penggunaan isu terorisme oleh Polri justru mengakibatkan penyelesaian masalah Poso makin sulit. Tewasnya seorang anggota polisi perlindungan masyarakat (linmas) yang dikeroyok warga juga menunjukkan makin besarnya rasa tak percaya masyarakat Poso pada Polri.
Usman menambahkan, isu terorisme di Poso terlalu berlebihan, karena Poso berbeda dengan terorisme internasional yang dilakukan oleh jaringan Al Qaidah. Poso telah dijadikan komoditas untuk memberi hak istimewa bagi Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri untuk unjuk gigi. Isu terorisme tak perlu, banyak masalah sosial di Poso yang belum selesai yang perlu pendekatan. Polisi seharusnya bermitra dengan masyarakat. Ditambah parah lagi dengan lima kasus penyiksaan polisi terhadap para tersangka sepanjang 2002-2005. Jangan salahkan warga tak mau menyerahkan diri. Masalah mendasar di Poso adalah membangun kepercayaan warga terhadap aparat. Kontras akan mendesak DPR untuk melakukan klarifikasi atas kasus penembakan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam penangkapan ini.
Abu Said Belu juga dari Kontras mempertanyakan asal senjata yang disita polisi seusai penggerebekan di Poso. Penemuan senjata organik itu patut dipertanyakan. Tidak jelas kepemilikan senjata yang ditemukan, yang umumnya adalah senjata yang biasa digunakan oleh TNI dan polisi. Penemuan itu, sangat kontradiktif dengan upaya polisi yang akhir-akhir ini memperketat peredaran senjata api. Tampak tidak ada kerja intelijen yang maksimal untuk menanggulangi persoalan.
Tajwin Ibrahim SH anggota Tim Pembela Muslim (TPM) Sulteng mengatakan, ada beberapa kejanggalan dalam penyergapan 11 Jan 2007, sehingga perlu dilakukan investigasi mendalam. TPM Sulteng memiliki kepentingan, sebab mendapat kuasa dari keluarga kedua korban untuk melakukan advokasi hukum.
Yus Mangun Ketua Komisi A DPRD Sulteng mengatakan, penyelesaian persoalan di Poso mestinya dilakukan secara proporsional agar jatuhnya korban jiwa dari pihak sipil maupun aparat keamanan dapat dicegah. Penyelesaian masalah dengan pola ‘klasik’ menggunakan senjata api, selain mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, juga menambah persoalan baru. Aparat keamanan maupun masyarakat sebaiknya menghindari penggunaan senjata dalam menyelesaikan persoalan-persolan di Poso. Yus Mangun menilai, upaya Gubernur Sulteng HB Paliudju dan Bupati Poso Piet Ingkiriwang untuk menciptakan situasi Poso yang aman belum menunjukkan hasil maksimal, sebab kekerasan bersenjata masih menjadi pilihan aparat keamanan maupun masyarakat dalam menyelesaikan masalah. Artinya, penguatan dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan selama ini belum membuahkan hasil sehingga perlu ditingkatkan.
Menurut Munarman SH Direktur An Nashr Institute (Lembaga Kajian Strategis dan Advokasi Umat), keberadaan Densus 88 di bawah Polri dinilai harus segera dibubarkan karena bersikap tidak adil dalam penanganan masalah Poso. Kapolri harus segera membubarkan Densus 88 ini. Sikap Densus 88 tidak adil dalam upaya penanganan kerusuhan di Poso, jika pelakunya dari kalangan Muslim, aksi kekerasan yang dilakukan aparat seringkali terjadi dan mereka dituduh sebagai teroris. Sementara saat Tibo dkk akan dieksekusi beberapa waktu lalu, siapa saja yang berbuat rusuh dan onar saat itu, polisi tidak melakukan tindakan apa-apa. Sikap Densus 88 sudah tidak lagi imparsial, sudah tidak adil dan berat sebelah. Untuk Kapolri diminta segera membubarkan Densus 88.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PKS Al Muzzammil Yusuf meminta agar keberadaan Densus 88 ditata ulang. Pasalnya, keberadaan pasukan khusus bentukan Polri ini disinyalir justru menambah resistensi publik dan seringkali kontraproduktif di lapangan. Kepala Densus harus berani menjelaskan berbagai dampak dari operasinya di lapangan, jangan sampai Densus 88 menjadi kesatuan yang tidak dapat tersentuh dan tertutup bagi publik sehingga kemudian bisa berbuat sekehendak hatinya. Saat ini adalah zaman reformasi dan era pertanggungjawaban kepada publik, sehingga Densus 88 harus mengklarifikasi berbagai laporan dan keluhan publik tersebut. Densus 88 harus bisa dituntut atas tindakan-tindakannya yang dianggap melanggar atau menyalahgunakan posisinya. Tidak ada aparat yang boleh memandang tugasnya sebagai kebal hukum, karena negara Indonesia adalah negara hukum dan persamaan semua manusia di depan hukum.
Sahir Sampeali anggota DPRD Poso dari Partai Keadilan Sejahtera mengatakan, penyergapan 11 Jan 2007 oleh Densus 88 dan Brimob telah memakan korban jiwa dari warga yang tidak termasuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang), dikhawatirkan memperlebar permasalahan di bekas daerah konflik bernuansa SARA ini.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny Harman menilai, pihak kepolisian terkesan sudah frustrasi dengan adanya maklumat tembak di tempat. Benny sangat kecewa dengan berbagai tindakan polisi, terutama menyangkut penanganan konflik Poso.
Menurut Koordinator Poso Center Iskandar Lamuka situasi yang terjadi di Poso dewasa ini sudah mengarah ke konflik terbuka antara masyarakat dan aparat keamanan (polisi), bahkan ada kecenderungan semakin meluas. Ada beberapa kasus penegakan hukum di Poso yang mengabaikan penegakan HAM, misalnya penangkapan dan penyiksaan semena-mena oleh polisi terhadap sejumlah warga sipil yang diduga bersalah, kemudian dibebaskan karena tidak cukup bukti.
Paulus Wirotomo Sosiolog dari UI mengatakan, untuk menyelesaikan konflik di Poso, Sulawesi Tengah, pemerintah tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan keamanan, melainkan perlu juga diikuti dengan pendidikan kewarganegaraan. Tujuannya, menghilangkan rasa benci dan saling curiga antarkelompok masyarakat dan masyarakat-aparat. Pendekatan keamanan bahkan dapat menimbulkan kebencian sebab di dalamnya ada unsur hukuman bagi pihak yang dianggap atau dinyatakan bersalah.
Haris Azhar dari Pokja Poso meminta operasi keamanan di Poso untuk sementara dihentikan. Setelah itu, pemerintah dan masyarakat diharapkan bersama-sama mencari akar masalah dari konflik itu. Penghentian operasi keamanan ini perlu, karena operasi itu justru melebarkan konflik dari antar-masyarakat menjadi antara masyarakat dan aparat.
Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, selain merasa prihatin juga meminta polisi lebih memaksimalkan pendekatan persuasif sehingga tidak memunculkan prasangka permusuhan antara rakyat dan negara. Pendekatan persuasif membutuhkan waktu yang lama dan keterlibatan banyak pihak.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi mengimbau agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera turun tangan dalam kasus Poso. Kunci penyelesaian permasalahan Poso itu adalah bagaimana para ekstremis itu dipisahkan dari komunitas masyarakat biasa yang baik-baik agar mereka tidak menjadi korban teror aparat keamanan. Caranya, mereka kan sudah didaftar, tinggal ditangkap dan dipisahkan dari masyarakat. Kondisi demikian sudah terlambat, ekstremis itu sudah ‘kadung’ menyusup di masyarakat dan baru digrebek oleh aparat keamanan. Akibatnya, masyarakat cenderung untuk bersatu dengan ekstremis tersebut. Dalam melakukan penangkapan terhadap mereka yang dianggap sebagai pelaku kekerasan, jangan dilakukan melalui gerakan perang terbuka melainkan gerakan intelijen.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan, penanganan pelaku kekerasan di Poso yang dilakukan aparat keamanan harus secara persuasif dan dialogis, bukannya dengan mengedepankan tindak kekerasan. Pendekatan kekerasan belum tentu bisa menyelesaikan permasalahan yang selama ini terjadi di Poso, hingga tindakan persuasif dan dialogis harus tetap dikedepankan. Din Syamsuddin sangat prihatin atas terjadinya baku tembak yang menimbulkan korban jiwa rakyat biasa. Kita mendukung upaya pemberantasan terorisme, tapi upaya itu jangan dilakukan secara represif. Ini dapat membuka luka baru bagi rakyat.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Hajrianto Y Thohari menilai, perintah tembak di tempat dan cara-cara yang terkesan seperti gaya Amerika Serikat memburu teroris Al-Qaidah di Afghanistan, Irak, serta Somalia tidak seharusnya menjadi pilihan pola perburuan DPO di Poso. Polisi seharusnya sangat menguasai medan dan bisa lebih profesional untuk mencari DPO tanpa mendapatkan resistensi masyarakat. Kenyataannya, cara yang dipilih Polri sangat eksesif, seperti Amerika memburu Al-Qaidah di Afghanistan, Irak, dan Somalia. Karena, mereka itu baru diduga bersalah, dan ini harus melalui proses hukum, bukan main tembak. Untuk itu, penghentian sementara operasi kepolisian mengejar para tersangka DPO Poso merupakan suatu keharusan. Kalau tidak, bisa menjadi langkah mundur. Bisa memunculkan polarisasi. Masyarakat juga semakin resisten.
Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Sutanto menegaskan, Operasi Raid di Poso akan diteruskan untuk membekuk semua buronan dari serangkaian peristiwa konflik di Poso. Pasca insiden dalam penggerebekan 11 Jan 2007 lalu, polisi akan berusaha membuat situasi lebih kondusif, tetapi bukan berarti operasi dihentikan sementara.
Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng), Brigjen Pol Drs Badrodin Haiti, justru meminta para pejabat di daerahnya yang tidak berwenang untuk tidak berkomentar mengenai kasus Poso karena kapasitasnya tidak tepat. Haiti meminta mereka yang tidak berwenang jangan ngomong dan asal njeplak, karena akan mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap kepolisian yang menangani Poso selama ini. Sebab, selama menangani kasus Poso, pihak kepolisian telah bertindak secara profesional dan sesuai aturan. Kalau lawannya bersenjata masak kita hanya diam saja. Apakah menunggu jatuh korban dulu dari pihak keamanan. Aksi-aksi kekerasan yang terjadi di wilayah Poso selama ini mendapat dukungan orang-orang dari luar wilayah Poso, bahkan mereka sengaja berusaha mengacaukan kembali situasi keamanan yang mulai kondusif pada beberapa tahun terakhir di bekas daerah konflik bernuansa SARA ini. Aparat telah mengidentifikasi para pelaku kerusuhan, antara lain, pernah belajar di akademi militer di daerah Afghanistan. Para lulusan Afghanistan tersebut sebagian besar berasal dari luar Poso atau Sulawesi, kemudian mereka pergi ke Poso untuk menyalakan kerusuhan. Upaya penegakan hukum yang dilakukan jajarannya di bekas daerah konflik Poso, termasuk dalam menangkap para tersangka yang masuk dalam DPO polisi, atas dasar permintaan masyarakat setempat.
Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengatakan, polisi tidak bisa disalahkan dalam kasus penyergapan orang-orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) di Poso yang menimbulkan korban jiwa. Ada korban karena imbauan damai tidak dilaksanakan. Jadi tak bisa disalahkan polisi, karena polisi tidak bisa menunggu terus menerus. Sangat disayangkan adanya korban jiwa. Untuk itu, mengenai masalah ini tentu akan dilakukan pengusutan lebih lanjut. Masalah tersebut terjadi karena pemerintah memberikan komitmen untuk menyelesaikan kasus Poso dengan cara melakukan aturan yang keras. Jatuhnya korban tewas di Poso merupakan bagian dari upaya menyelesaikan konflik. Pemerintah mendukung upaya yang dilakukan polisi untuk menyelesaikan masalah yang ada di Poso saat ini.
Presiden Yudhoyono turut prihatin dan menyesalkan terjadi korban jiwa dalam penegakan hukum yang tengah dijalankan oleh aparat Kepolisian Negara RI. Presiden Yudhoyono secara cermat terus menerus mengikuti kondisi dan situasi yang berkembang di daerah konflik tersebut. Presiden telah memberikan arahan kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS untuk sepenuhnya mengendalikan situasi dengan baik dan meminta agar penegakan hukum terus ditegakkan di Poso.
Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto mengatakan, pihaknya siap membantu Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memburu dan menangkap para pelaku kekerasan di Poso. Sepanjang ada permintaan, TNI siap kapan saja.
Gubernur Sulteng H Bandjela Paliudju menyesalkan tindakan represif aparat. Sebab, masih ada cara lain yang bisa dilakukan polisi, seperti mengintensifkan pendekatan persuasif untuk menghindari jatuhnya korban, baik dari kalangan aparat maupun warga sipil. “Kasihan masyarakat Poso. Mereka sudah lama merindukan kedamaian pascakerusuhan beberapa waktu lalu. Kini mereka kembali berada dalam ketakutan yang tak menentu dan kapan berakhir.”
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir mengatakan, Presiden SBY dan Kapolri Jendral Sutanto bertanggung jawab atas tewasnya warga sipil Poso dalam baku tembak dengan polisi itu. Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri yang melakukan pembunuhan itu juga diminta untuk dibubarkan. Ba’asyir bahkan mencurigai adanya upaya Densus 88 untuk menghabisi umat Islam di Poso. Karena selama ini yang terkena UU Antiterorisme hanya warga Muslim Poso.
Ketua PBNU Ahmad Bagdja mengatakan, pemerintah harus segera menghentikan aksi kekerasan. Masyarakat yang emosional tidak bisa dilawan dengan tindakan yang emosional pula. Untuk itu, dialog yang difasilitasi tokoh masyarakat dan agama setempat harus dilakukan.
Barisan Muda Muslim Poso (BMMP) meminta Kapolri mencopot Kapolda Sulteng Brigjen Pol Drs Badrodin Haiti, menyusul jatuh banyak korban jiwa sejak diintensifkannya operasi penangkapan terhadap orang-orang yang namanya dimasukkan dalam DPO (Daftar Pencarian Orang). Ketua BMMP Zulkifli Kay mengatakan, Kapolda Badrodin Haiti adalah orang paling bertanggung jawab atas jatuhnya banyaknya korban jiwa dan cedera selama digelarnya operasi penangkapan para tersangka DPO kurun tiga bulan terakhir. Operasi yang mendapat perlawanan warga sepanjang hari Senin merupakan operasi paling tragis, karena korban tewas dari warga sipil sedikitnya mencapai 10 orang. Tindakan agresif dan show force aparat kepolisian dalam operasi penangkapan para tersangka DPO menimbulkan antipati sebagian warga Poso, sehingga mereka berbalik melakukan perlawanan. Akibatnya, sebagian besar korban tewas adalah orang-orang yang tidak menjadi target operasi. Ini akibat tidak profesionalnya pimpinan Polri di daerah.
Kesaksian Fabianus Tibo Dari Penjara
Untold Story / the X files Oleh : Redaksi 25 Mar 2007 – 3:00 pm
Risalah Mujahidin Edisi 6 Th. I Saffar 1428 H (Maret 2007 M), hal. 30.
Sebelum dieksekusi mati, Tibo sempat memberi kesaksian di hadapan para wartawan di LP Cipinang, Rabu, 14 Desember 2005.
Berkata Tibo: “Supaya bapak-bapak bisa tahu bahwa inilah yang sebenarnya. Kenapa dari dulu semua pengacara kami tutup, tidak bisa kami mengungkapkan semuanya, kami tidak boleh bicara.
Sampai di kantor pengadilan pun tidak bisa kami berbicara, selalu ditekan terus. Kenapa? Karena mereka takut, karena ada yang kami akan ungkapkan semuanya itu.”
“Jadi, saya ingin ungkapkan, supaya bapak-bapak tahu, kenapa saya harus berada di Poso.
Karena Yanis Simangunsong, mungkin bapak-bapak sudah tahu itu nama 16 orang, Yanis Simangunsong yang datang ke Beteleme, waktu itu belum Kabupaten, masih Kecamatan Lepo. Jadi, Yanis datang ke rumah saya dia katakan, “Om, Gereja dengan Suster, Pastur, dengan anak sekolah di sana orang Islam akan bunuh semua.”
“Lalu saya katakan, ‘Bahasamu itu kamu bisa bertanggungjawab, kalau tidak benar saya lapor polisi.’ Dia katakan, ‘Ya, kalau om percaya atau tidak ya terserah. Tetapi saya yang katakan itu benar’… ”
“Apa yang terjadi? Karena dia provokasi seluruh orang yang ada – sekarang sudah kabupaten ya – di Kabupaten Morowali, mulai dari Beteleme Kolongale sampai Wuku (?). Dimana di situ ada umat Kristen, di situlah Yanis Simangunsong provokasi, sehingga di sana hampir tejadi di pasar Beteleme waktu itu, karena dengan provokasinya, sehingga apa, Islam yang ada di pasar Beteleme ketakutan yang lain lari…”
Link :
– http://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_Tibo
– http://jakarta.indymedia.org/newswire.php?story_id=725
Read Full Post »